Kukira bagimu aku rumah, tenyata aku hanya kamu sewa. Miris yah, hanya menjadi tempat singgah, dan memberi banyak rasa bahagia didalamnya, lalu pergi tanpa rasa bersalah, kau ini manusia atau apa? Setelah melukai kau masih bisa tidur dengan nyenyaknya. Tapi tak mengapa, karma masih tau dimana ia harus berada. Hari itu kau sendiri yang memilih pergi, dan ingat apa yang telah kau buang tidak bisa kau ambil lagi. Kini aku sudah sembuh, meski kadang rasanya masih sesak untuk sekedar mengingat, akupun sedang dalam perjalanan melupakan, jadi tolong jangan panggil aku untuk berbalik, karena senyaman-nyamannya tempat singgah, rumah adalah tujuan semua orang, dan sayangnya rumah itu bukan aku, iya kan? Rumahmu adalah dia,yang kau bela dengan penuh tenaga, ya sudahlah ikhlas adalah caraku merelakan. Karena aku sadar keinginanku untuk bersama terdengar mustahil, atau mungkin saja waktunya bukan sekarang, mungkin nanti. Tapi diam yang katanya emas pun tak dapat memberi jawaban atas apa yang pada hakikatnya terbatas.
Mari kita sudahi ketidakjelasan ini, upayaku meminta kepastian dibaca lain olehmu, aku ingin pergi tapi yang ku khawatirkan adalah saat dimana aku berhasil mengalahkan segala ego yang ada, kau datang memberi perhatian, lalu kau seolah-olah mencari hal yang kusukai, berperilaku seolah memintaku mendekatimu kembali, ini tidak selucu itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
MONOCHROME [LENGKAP]
Poetrykita hanya hitam dan putih, tidak usah lagi mengadopsi warna lain, berdua pun kita bisa memikat hati. -- Maros, 2017. -5 Maret 2019 - #11 in prosa #1 ceritabahagia -25 Maret 2019- #4 in poetry #6 in curhatan