Mengapa aku ditinggalkan?
Beberapa waktu lalu aku mendapati pertanyaan “Apa kau tidak ingin bertanya mengapa ia pergi?”
Ingin. Sangat ingin. Saat aku sangat mencintai seseorang, saat semuanya berjalan baik-baik saja, saat seharusnya kami masih bisa tertawa bersama sampai sekarang.
Semua tiba-tiba saja berubah, tiba-tiba jarak menjadi begitu jauh, tiba-tiba tak ada lagi percakapan seperti biasanya, pertanyaan-pertanyaan “hai”, “sedang apa?” dan “aku kangen” hanya diread tanpa dibalas, juga pertemuan-pertemuan yang dulu begitu mudah, tiba-tiba saja menjadi sulit dan tidak pernah terjadi lagi.
Katakan padaku siapa yang tidak ingin bertanya “ada apa dengan kita?” akupun ingin sekali bisa mengatakan itu.
Menahan diri untuk tidak bertanya “Ada apa dengan kita? Kenapa kau tiba-tiba berubah? Apa salahku? Apa yang musti kuperbaiki dari diriku? apa kau menemukan seorang yang lebih baik dari aku?” itu bukan perihal mudah.
Ditinggal tanpa penjelasan apa-apa itu menyakitkan. Sangat. Aku tidak tahu bagian mana yang salah dan harus kuperbaiki, aku hanya menemukan bahwa semua tiba-tiba saja menjadi kosong.
Namun aku memilih diam, dan menerima kenyataan bahwa ia telah pergi.
Bagiku, seorang saat memutuskan pergi, pasti telah berpikir puluhan kali dan mungkin ratusan kali sebelumnya. Maka ketika akhirnya keputusan itu yang ia pilih, aku sadar bahwa aku bukan lagi pilihan baginya, aku bukan lagi tujuan, juga seseorang yang ia inginkan.
Bagiku itu cukup. Aku tak perlu penjelasan apapun lagi.
Ditinggalkan itu menyakitkan, tapi bertahan pada sebuah hubungan di mana kau sudah tidak diinginkan, itu jauh lebih menyakitkan.
Kau tahu apa yang lebih menyakitkan dari ditinggalkan?
: pura-pura dicintai.
17 Agustus 2017
susy illona
KAMU SEDANG MEMBACA
MONOCHROME [LENGKAP]
Poetrykita hanya hitam dan putih, tidak usah lagi mengadopsi warna lain, berdua pun kita bisa memikat hati. -- Maros, 2017. -5 Maret 2019 - #11 in prosa #1 ceritabahagia -25 Maret 2019- #4 in poetry #6 in curhatan