[Sendiri]
Sendiri yang sebenarnya adalah ketika tidak ada yang mampu kau percaya dari sekian banyak orang di duniamu, seolah kau menganggapnya tidak ada. Kau tidak mempercayainya, dan memang ada satu fase merepotkan dalam hidup di mana kau tidak ingin menjadi beban untuk orang lain, sedangkan masalah itu ada untu diceritakan tapi kau merasa sungkan untuk mengungkapkan. Lalu, kau menarik diri dari kerumunan, berteman sepi lalu menangis sesegukan. Dan kadangkala sendiri dalam artian ini adalah hal melegakan, pernahkah kau bertnya pada pohon rindang ditengah hutan? Bagaimana ia tumbuh dengan lebatnya tanpa campur tangan orang banyak, atau pada rembulan yang bersinar ditengan jutaan gemintang? Mereka pun sendirian, tapi cukup bagi mereka untuk menjadi tenang.
Tapi kita tidak akan sepenuhnya sendiri, sebab dalam kesendirian itu saatnya kita melebur dengan suara hati, melebur dengan doa kita kepada Sang Pencipta , biarkan waktu memberi jeda untuk membimbing kita. Keriuhan dan keramaian duniawi seakan telah mendekap telinga kita, memaksa untuk tidak mendengarkan seruan hati yang sebenarnya menjadi seruan yang hakiki, seruan dalam jiwa, seruan yang tidak pernah dusta dan menggiring kita kepada kesalahan yang sama. Barangkali perkataan hati yang sering kita sepelekan perlahan menunjukkan jalan. Karena hati dan ego berada disatu tempat yang sama. Sendiripun kita masih lunya loncatan, dengarkan kata hati sebelum hati menutup diri dan kitabkepayahan untuk membukanya, lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
MONOCHROME [LENGKAP]
Poetrykita hanya hitam dan putih, tidak usah lagi mengadopsi warna lain, berdua pun kita bisa memikat hati. -- Maros, 2017. -5 Maret 2019 - #11 in prosa #1 ceritabahagia -25 Maret 2019- #4 in poetry #6 in curhatan