Gabe.
***
JUSTIN HARRISON
Aku berjalan menyusuri lorong gelap. Sangat gelap. Hingga aku tiba di tengah-tengah ruangan yang hanya memiliki lampu pijar kecil dengan cahaya putih yang sudah redup. Aku mendengar tawa licik dan kejam. Semakin lama semakin bersahutan. Aku berjongkok menutup telingaku dan keadaan berputar seolah-olah aku berpindah tempat.
Aku berada di sebuah rumah. Rumah yang indah dan gelap. Aku menyusuri koridor ketika mendengar suara jeritan melengking. Wajahku pucat. Aku ingat bahwa aku berumur tujuh tahun saat itu. Aku berlari dan terlambat. Wanita itu telah berada di depanku dan tersenyum kepadaku.
"Kau mau lari kemana, kid?"
Mataku sontak terbuka. Aku menatap langit-langit kamarku dan menyadari bahwa itu hanya mimpi. Terkadang aku merasa bahwa aku kembali ke masa kecilku jika aku menutup mata ini untuk terlelap.
Aku melirik ke bawah dan menemukan Wave masih tidur. Aku menghembus napa lega. Ini hanya mimpi namun rasa sakit itu kembali bersarang. Aku menggelengkan kepalaku berusaha menghapusnya. Aku melirik ke arah jendela dan ternyata hujan sedang turun dengan deras.
Aku menggeser Wave dan menyelimuti tubuhnya. Aku turun dari tempat tidur dan berdiri di depan cermin. Menatap tubuhku yang sempurna lalu menatap wajahku. Aku tak tahu apakah ini diriku yang asli atau bukan. Aku memalsukan pikiranku. Semuanya.
Tidak. Aku memejamkan mata dan berusaha berpikir bahwa aku sudah jauh dari semua itu. Namun, terkadang kenyataan berkata sebaliknya dan tidak pernah semudah yang kubayangkan.
Aku melirik jam di atas mejaku dan angka tiga tertulis disana. Aku hanya tertidur selama tiga jam. Aku memutuskan untuk membersihkan diri. Sekalipun aku sakit, aku tak pernah memanjakan diriku.
Setelah mandi, aku turun ke dapur untuk mengambil segelas air putih dan meminum obat. Rasa sakit masih berdenyut di kepalaku. Aku kembali naik ke kamarku dan menemukan Wave masih tertidur dengan lelap.
Sejujurnya, aku berpikir apakah aku menyukainya? Aku rasa tidak. Aku tidak ingin membuka hati untuk siapapun. Menjalin sebuah hubungan membuatku muak. Aku pernah pacaran. Bukan, maksudku sering. Bahkan saat ini aku juga menjalin sebuah hubungan dengan Megan. Ia pacarku.
Mendefinisikan kata pacar sama artinya mendefinisikan sebuah manifesto yang tak ada habisnya. Berbagai deskripsi bermunculan dari kata itu. Berbagai aturan, larangan dan semacamnya. Namun, aku berpikir bahwa pacar itu hanyalah sebuah parasit yang menggerogoti uangku. Seperti Megan contohnya.
Aku naik ke atas tempat tidurku dan membuka televisi. Aku tidak bisa tidur lagi akibat mimpi buruk itu.
Mataku terpaku kepada layar namun tidak dengan pikiranku. Pikiranku melalang buana entah kemana. Pekerjaan, berkas-berkas dan dokumen penting, proyek besar, pertemuan, peroyek pembangunan. Aku selalu berpatokan pada semua itu. Tak berani membiarkan pikiran lain masuk dan menyelip diantara semua pemikiranku.
YOU ARE READING
The Electric Trilogy: Electric Sweetness
ActionWaverly Bell merupakan gadis manis berambut hitam panjang dan memiliki garis wajah yang keras. Cantik dan sulit didekati. Tak ada yang mengenalnya. Sebaliknya, tak ada yang tak mengenalnya. Gadis itu adalah sesuatu yang mengejutkan. Sesuatu yang san...