JUSTIN HARRISON
Aku melangkah turun dari pesawat sambil menggenggam erat tangan pacarku. Ini pertama kalinya aku memakai kaus biasa dengan celana ponggol dan turun dari pesawat pribadiku. Terlihat aneh karena aku lebih sering memakai jas kemanapun aku pergi—atau kemeja.
Wave menyisir rambut hitamnya dengan jari-jari lentik miliknya. Terlihat begitu bersinar ditimpa sinar matahari jingga yang membuat kulit putihnya bertambah indah. Aku tersenyum memikirkan betapa sempurnanya pacarku.
Aku berjalan menuju mobil dan masuk bersama Wave. Ia bersandar di bahuku dengan diam.
"Jadi, apa yang akan kau katakan dengan Tommy dan Kevin jika kau bertemu dengan mereka?" tanyaku sambil meremas lembut tangannya.
"Um, tidak ada aku rasa. Hanya menjelaskan bahwa aku tidak tahan berlama-lama di Italia. Kita akan pulang ke rumahmu, kan? Ibuku akan gila melihat keadaanku seperti ini. Lagipula, aku merindukan Bellson."
"Baiklah. Kita akan ke rumahku dan kau akan tinggal disana. Tapi, setelah itu kau harus ke rumah sakit untuk mendapat perawatan intensif." Wave menghembuskan napas panjang dan menatapku sambil memicingkan matanya lalu menggeleng.
"Kau berlebihan, Mr. Harrison. Ini sudah sangat biasa. Lagipula, aku akan bertarung besok. Marcus memberi pesan kepadaku sekitar satu jam yang lalu." Mataku melebar mendengar ucapannya. Aku menatapnya dengan tatapan kau-tak-akan-pergi-kemana-mana-young-lady dan ia membalasku dengan tatapan kau-tidak-bisa-mengaturku-Harrison.
"Wave!" geramku kesal. Ia memutar bola matanya dan bersandar di kaca mobilku.
"Baiklah. Terserah apa katamu," ucapnya ketus. Aku tersenyum dan menyentuh bahunya."No touching, Mr. Harrison. Not for this time."
"Oh, Wave. Ayolah. Aku hanya tidak ingin melihatmu sakit."
"Aku mengerti, Justin. Namun, bukan berarti kau bisa melarangku."
Aku mendegus lelah."Baiklah. terserah apa katamu," ujarku meniru ucapannya. Ia tertawa kecil dan mencium pipiku lembut.
"Terima kasih," ucapnya tulus. Aku tersenyum kecil dan mencium keningnya.
Aku menyandarkan kepalanya di atas bahuku. Aku memandang ke depan dengan perasaan cemas. Pikiran mengenai jurnal Ayahku membuatku sedikit gelisah. Aku belum membacanya dan aku takut untuk mengetahui apa isi jurnal tersebut. Tidak ada yang pernah membuatku secemas ini—selain Wave.
Kami masuk ke dalam gerbang rumah milikku dan aku menyuruh supirku untuk membawa mobil tersebut kembali ke kantor. Bukan mobil kantor, namun karena itu adalah Lamborgini edisi lama, jadi sebaiknya aku menjadikannya mobil darurat untukku.
Kami masuk ke dalam rumahku yang selalu tertinggal dalam keadaan rapi dan Wave menghempaskan tubuhnya di atas sofa.
"Jadi, kunci rumahmu, Justin. Aku membutuhkannya." ucap Wave dengan mata terpejam. Aku meletakkannya di atas meja dan segera naik ke kamarku untuk berganti baju. Banyak urusan kantor yang harus aku kerjakan.
Selang beberapa saat, Wave masuk ke kamarku dan menatapku yang sedang memakai jas kantorku. Aku tersenyum melalui kaca.
"Kau ingin memakai dasi yang mana?" tanya Wave sambil membuka ruang pakaianku yang besar dan mulai memilih dasi-dasiku."Apa beda ruang ini dengan lemari baju yang berada di dekat pintu itu?" tanyanya heran.
YOU ARE READING
The Electric Trilogy: Electric Sweetness
ActionWaverly Bell merupakan gadis manis berambut hitam panjang dan memiliki garis wajah yang keras. Cantik dan sulit didekati. Tak ada yang mengenalnya. Sebaliknya, tak ada yang tak mengenalnya. Gadis itu adalah sesuatu yang mengejutkan. Sesuatu yang san...