JUSTIN HARRISON
Aku merangkul pinggang Wave sambil berjalan keluar dari restoran. Tangan kiriku memegang belanjaannya yang bisa dikatakan cukup banyak. Baju-baju ini masih baru dan cantik-cantik. Aku rasa Wave membelinya lebih dari lima puluh pasang.
Aku sedikit risih karena meskipun aku merangkul pinggang seksi Wave dengan erat, masih sering terdengar siulan dan tatapan kagum serta menelanjangi yang diberikan pria-pria remaja disini kepada Wave—bahkan pria yang telah beristri juga sampai memutar kepalanya untuk melihat Wave. Aku mengakui bahwa dress yang dipakai Wave menempel ketat di tubuh padat dan montoknya itu. Ia memakai baju berwarna oranye dengan bunga-bunga putih dan dari bagian dada hingga pinggang sangat ketat. Menunjukkan bahwa belahan Wave sangat menggiurkan. Terlebih gaunnya ini hanya satu tali. Beruntungnya adalah bahwa gaun yang dikenakan Wave panjang hingga menutupi paha mulusnya. Sebatas lutut aku rasa. Aku kurang paham. Aku hanya tahu bahwa itu sangat cocok untuk Wave.
"Kau tahu di mana alamat panti asuhan itu?" tanyaku saat kami masuk ke dalam mobilku. Wave menoleh dan mengangguk.
"Aku akan menunjukkannya kepadamu."
"Mengapa kau tiba-tiba memiliki niat seperti ini? Sepanjang aku mengenalmu, kau tidak pernah berurusan dengan hal seperti ini."
"Aku hanya ingin melakukannya. Karena, masalah yang kita hadapi ini dipenuhi orang-orang kaya yang menghamburkan uang seperti Joanne—terlebih ia juga suka menjual anak-anak kecil ke berbagai negara. Aku hanya ingin melihat bahwa panti asuhan yang akan kudatangi ini jauh dari jangkauan Joanne."
"Kau benar. Joanne memang terkadang memboikot berbagai panti asuhan untuk mencari anak-anak yang akan ia jual. Ia gila, aku rasa."
Aku mulai mengemudikan mobilku dengan diam.
"Kau tahu, aku mengenal panti asuhan ini dari sebuah majalah."
Aku mengangguk pelan dan malas menjawab.
"Dan, pria ini bernama Carlos."
Aku terkejut tak mengerti.
"Maksudku, pria ini yang mendirikan panti asuhan ini. Aku hanya mengenalnya sebatas itu. Lalu aku meminta izin untuk menyumbangkan beberapa pakaian. Dan katanya, panti asuhan mereka sedang di renovasi." ujar Wave cepat sambil menyentuh lenganku. Aku menahan emosiku dan mengangguk.
"Sekarang kita belok kemana? Kiri atau kanan?"
"Kanan. Setelah itu kita akan lurus lalu belok ke kiri dan terdapat sebuah rumah yang sangat besar dan nyaman."
"Kau pernah kesana?" tanyaku menyelidiki.
"Tidak. Aku hanya melihat peta dan gambar di majalah itu."
Aku bernapas lega dan mengangguk. Aku mengikuti petunjuknya dan kami berhenti di depan gerbang. Kami turun dengan aku yang membawa barang belanjaan Wave. Wave membuka pintu gerbang bercat putih itu dan melangkah masuk menyusuri jalan setapak kecil dengan rumput luas di pinggirannya.
Aku mengikuti langkah Wave dan seorang pria yang berumur sekitar tiga puluh tahun keluar dari pintu rumah dengan berbagai macam tipe anak kecil. Dari yang dewasa hingga seorang bayi yang sedang di gendong oleh para perawat disana.
"Waverly Harrison?" tanya pria itu sambil tersenyum. Aku tertegun mendengar ucapan pria itu. Waverly...Harrison? Wajahku memerah. Aku tahu nama itu memiliki makna ganda. Waverly Harrison sebagai anak Henry atau sebagai...isteriku.
"Justin Harrison." Aku bersalaman dengan pria yang kuyakini bernama Carlos itu.
"Aku tak menyangka bahwa direktur besar sepertimu mau mengunjungi tempat terpencil seperti ini. Terlebih bersama isterimu. Silahkan melihat-lihat."
YOU ARE READING
The Electric Trilogy: Electric Sweetness
ActionWaverly Bell merupakan gadis manis berambut hitam panjang dan memiliki garis wajah yang keras. Cantik dan sulit didekati. Tak ada yang mengenalnya. Sebaliknya, tak ada yang tak mengenalnya. Gadis itu adalah sesuatu yang mengejutkan. Sesuatu yang san...