JUSTIN HARRISON
PLAY : ALL OF ME - JOHN LEGEND
Aku mencium bau obat-obatan yang begitu menyengat hingga aku terbatuk. Aku membuka mataku dan sedikit kabur hingga aku harus mengerjapkannya berkali-kali. Aku tahu ini di rumah sakit karena tabung oksigen yang sedang kupakai. Aku segera melepasnya dan berniat bangkit saat rasa sakit mulai menjalar di tubuhku. Aku mengerang kuat dan memandang sekitarku.
Aku tidak menemukan gadisku. Dimana dia? Mengapa aku ingin menangis seperti ini? Aku seperti kehilangan ibuku. Aku ingin Wave saat ini. Aku mengusap air mataku yang mengalir saat seseorang sudah berdiri di depanku. Aku mendongak dan menemukannya.
"Hei, kau masih sakit. Beristirahatlah lagi, sayang." Wave mengelus wajahku dan berusaha membaringkanku saat aku menggeleng.
"Aku ingin kau."
Wave menggigit bibirnya kuat."Aku tahu."
Aku segera menarik tubuhnya ke dalam pelukanku. Sentuhan tubuhnya membuatku sama sekali tidak merasakan rasa sakit di tubuhku."Bagaimana luka di punggung dan perutmu?"
"Sudah membaik. Kau pingsan selama empat hari. Aku benar-benar ketakutan, Justin."
"Maafkan aku." Tidak seharusnya aku meminta maaf karena aku tidak salah. Wave yang salah.
"Tidak, maafkan aku. Aku yang membuatmu seperti ini." Isaknya sambil memeluk tubuhku erat.
"Aku tidak apa-apa." Aku bohong. Aku merasakan sakit di hatiku dengan begitu hebat saat mendengar penjelasan Daniel kepadaku ketika Gabe menyergapku. Beruntung ia dengan sigap kabur karena aku yang menyuruhnya.
"Dokter mengatakan bahwa kau sudah cukup beristirahat dan ketika kau sudah sadar, kau boleh pulang."
"Kita dimana?" tanyaku datar.
"New York. Aku akan segera mempersiapkan semuanya. Aku akan mengambilkan pakaianmu." Wave melepaskan dirinya dan mengusap wajahnya yang basah. Aku hanya diam melihatnya melakukan semuanya dengan telaten. Empat hari namun tubuhku masih terasa sakit meskipun sudah bersih dan tak ada luka. Kakiku masih nyeri namun telah dibebat oleh kain kasa. Setidaknya, tubuhku tidak sesakit hatiku saat mengingat Wave mengirimku sendirian kembali ke New York.
Haha, luka di tubuhku tidak ada apa-apanya dibandingkan sikap Wave yang menjauhiku. Sikapnya yang seolah-olah ia bisa mengamankanku. Sikapnya yang gegabah karena mengambil keputusan sepihak seperti ini. Aku marah dan sangat marah. Bahkan ketika aku memeluknya, aku masih sangat marah.
Bagaimana sih pikiran jeniusnya itu berjalan? Memikirkan bahwa aku akan selamat dan aman tanpanya di sisiku? Wave sangat salah. Aku tak akan pernah aman jika bukan dengannya! Ya Tuhan! Aku ingin menangis saat ini juga karena sikap keterlaluan Wave.
Aku mencintainya, tentu saja hal itu sudah sangat jelas dan tak perlu diucapkan lagi. Tapi, ah, Wave bernar-benar menyakitiku kali ini.
Wave meletakkan kaus bersih dan celana santai di sampingku. Aku masih diam dan segera memakainya tanpa berkata terima kasih.
"Aku sudah menelepon Daniel dan ia akan segera mengirimkan mobil jemputan kemari. Kau bisa berjalan?"
"Sudah." jawabku singkat namun datar.
Wave menyentuh lenganku lembut sambil memandang wajahku dari samping."Kau marah?"
"Sebaiknya kita turun. Daniel akan segera sampai sebentar lagi. Aku akan membantumu membawa koper-koper itu." Suaraku terdengar begitu dingin dan hatiku sakit karena menggunakan nada itu kepada Wave. Aku segera mengangkat koper Wave dan koperku lantas memanggul ranselnya di bahuku. Aku sedikit meringis karena rasa sakit yang semakin terasa. Namun, aku bukan pria yang manja dan membiarkan rasa sakit itu menyebar. Toh, sakit di hatiku lebih daripada ini. Jadi, ini sudah biasa.
YOU ARE READING
The Electric Trilogy: Electric Sweetness
ActionWaverly Bell merupakan gadis manis berambut hitam panjang dan memiliki garis wajah yang keras. Cantik dan sulit didekati. Tak ada yang mengenalnya. Sebaliknya, tak ada yang tak mengenalnya. Gadis itu adalah sesuatu yang mengejutkan. Sesuatu yang san...