Malam Kemarin

24 4 0
                                    

Malam kemarin, aku rindu.
Rindu pada bulan sabit dan bintang yang setia menemani malam.
Rindu ramainya suasana pukul tujuh dan sepinya malam pukul delapan.

Malam kemarin setelah sekian lama tak menatap langit dengan senyuman.

Langit tertawa, bulan terkekeh dan bintang terbahak melihat senyum malu-maluku.
Malu-malu bahagia atau kah bahagia malu-malu?

"Hei, lihatlah si pemurung itu! Ia tersenyum." sorak langit pada bulan dan bintang. Bulan mengalihkan wajah dari langit dan melirik Bumi lalu berkata sinis,

"Bukankah dia yang suka mengaduh? Pendengaranku sakit gara-gara keluhannya."

"Dan sinarku kian meredup karena kesedihannya. Tapi lihatlah sekarang. Betapa manis senyumnya." Bintang tak mau kalah mengolokku.

"Coba tanyakan pada angin, mengapa ia tersenyum? Sungguh, aku sangat penasaran tetapi sinarku tak mampu menembus kegelapan malam tuk sekadar membaca hatinya." Bulan kembali menimpali.

"Tanyakan saja pada angin malam," perintah sang penguasa angkasa.

Dan angin datang mengecup pipiku, berbisik pelan dan menceritakan diskusi ringan tiga sekawan di angkasa.

Aku tersenyum mendengarnya lalu kata angin padaku, "Bisakah engkau menceritakan padaku mengapa engkau tersenyum? Aku jenuh mendengar ratapmu dan rindu cerita indahmu?"

"Benarkah?" tanyaku menggodanya dan ia balas mengacak rambutku dengan gemas.
Ia pergi dengan kekesalan namun datang sesaat kemudian setelah aku membujuknya.

"Lihatlah sekelilingku!" perintahku pada angin malam saat ia mendekat. "Apa yang kau temukan?" tanyaku padanya.
"Hanya aku seorang dan ah ... " ia tersentak kala melihat sosok yang cukup asing di sisi kananku. "Dia ... Ah, aku mengenalnya tetapi lupa di mana tepatnya. Mungkin saja seseorang yang kujumpai di jalanan?" ia asyik berbicara pada dirinya sendiri sedang aku tersenyum melihat tingkahnya.

"Jadi karena dia kamu tersenyum?" aku mengangguk. "Ceritakan padaku, siapa dia," pintanya padaku yang jawab dengan gelengan kepala.
"Mengapa?" tanyanya lagi penuh selidik.
"Kamu mengenalnya sekian tahun yang lalu, saat aku masih suka bercerita tentang dia, saat aku masih asyik mengirim pesan melalui engkau. Tidakkah kau mengingatnya?" ia menggeleng. "Baiklah, lupakan saja. Pergilah dan saksikan dari jauh bagaimana aku tertawa bersamanya tetapi jangan sesekali menguping pembicaraan kami." ia menampar pelan wajahku lalu berlalu pergi sedang aku tertawa melihat tingkahnya yang lucu.
Kupalingkan wajah dan mendapati sosok asing itu sedang tersenyum dan aku suka melihatnya seperti itu.
Malam kemarin mengukir tawa kami, melukis canda dan membingkai rasa yang entah apa.

Aku menatap, ah bukan. Kami saling bertatapan, membunuh waktu sesaat dan rasanya aku ingin memeluk malam bersamanya.

Salam,
Elisabeth B

Larantuka, 3 Agustus 2018.21.07

AKU dan KATATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang