Realizing Something

161 21 0
                                    

Areum termenung. Sejak pulang dari stasiun radio, entah mengapa kepalanya terasa penuh. Percakapannya dengan sang penyiar masih terbayang-bayang di dalam kepalanya. Terutama mengenai Ice Man.

Gadis itu tersadar, belakangan ini ia tidak mendapat pesan dari Wonwoo. Padahal pria itu selalu mengiriminya pesan tak tahu waktu. Entah mengapa, hal itu membuat perasaan Areum sedikit mengganjal. Seperti ada ruang yang tiba-tiba kosong di harinya.

Areum menggelengkan kepalanya keras. Ia menepuk-nepuk kedua pipinya. Sadarlah Areum, kau pikir idol sukses seperti dirinya punya banyak waktu luang untuk menemanimu bermain? Batin Areum.

Sesungguhnya, hubungannya dengan Wonwoo membuat dirinya sedikit melupakan rasa lelah di sela-sela aktivitasnya yang padat. Areum sedikit merindukan sikap jahil cowok itu yang selalu mengerjainya setiap ada kesempatan. Namun disisi lain, Wonwoo benar-benar bisa diandalkan ketika dirinya membutuhkan bantuan. Posisi Wonwoo tak ada bedanya seperti Jeonghan bagi Areum. Bahkan, Areum baru menyadari bahwa akhir-akhir ini Wonwoo lebih sering menemaninya dibandingkan Jeonghan.

"Ah, kenapa aku tiba-tiba jadi membandingkan mereka seperti ini?" gerutu Areum lirih pada dirinya sendiri.

Gadis itu mematikan kompor dan mengangkat panci berisi ramyun yang telah masak ke atas meja. Tanpa sengaja pandangannya tertuju pada gelang berinisial YA pemberian Wonwoo yang tidak pernah ia lepaskan. Pikirannya kembali melayang pada sosok pria kurus berkacamata itu.

Apa aku merindukannya? Haruskah aku menghubungi dan menanyakan kabarnya duluan? Batin Areum kembali bergelut.

"Hmm, harum," suara serak khas orang bangun tidur membuyarkan lamunan Areum. "Kelihatannya enak."

Areum tersenyum kecil melihat penampilan Hyunbin yang baru saja bangun tidur. Pria itu terlihat menggemaskan dengan rambut tebalnya yang berantakan. Benar-benar pemandangan yang jarang ia lihat karena kesibukan mereka yang memisahkan keduanya.

"Cuci muka dulu, Oppa," ucap Areum. "Aku akan menyiapkan lobaknya."

"Siap, laksanakan," ucap Hyunbin patuh. Ia mengelus puncak kepala Areum sebelum berlalu ke kamar mandi.

Areum memandangi punggung kekasihnya yang berjalan menjauh. Ia menghela napas panjang. Sudahlah, lebih baik sekarang ia menikmati waktunya dengan Hyunbin. Jangan memikirkan pria lain.

---

Hyunbin memeluk tubuh mungil Areum lama. Pria itu tampak sangat takut seperti akan kehilangan Areum untuk selama-lamanya. Walaupun sudah sering meninggalkan gadis itu untuk mengurus bisnisnya, entah mengapa firasat buruk selalu menghampiri benak Hyunbin. Padahal selama dua minggu ini dia selalu menghabiskan waktunya bersama Areum.

"Oppa, sebentar lagi pesawatmu boarding," ucap Areum berusaha meloloskan diri dari kungkungan lengan kekar Hyunbin.

Bukannya melepas, pria itu malah makin mengetatkan pelukannya. Ia menghirup dalam-dalam aroma tubuh kekasihnya. Setelah puas, Hyunbin baru menguraikan kedua lengannya dengan perasaan tidak rela.

"Segera selesaikan urusan wisudamu. Kalau kau sudah lulus aku bisa lebih bebas untuk membawamu ikut bersamaku ke Australia," ucap Hyunbin.

Areum tersenyum simpul. Akhir-akhir ini entah mengapa Hyunbin terdengar sangat khawatir dan tidak ingin lepas dari sisinya barang sebentar pun. Gadis itu mengelus pelan sebelah lengan Hyunbin yang tampak murung.

Pada awalnya, Hyunbin hanya bolak-balik Seoul-Jeju dalam urusan memperluas bisnis kafe yang didirikannya. Sejak satu tahun yang lalu, entah bagaimana, tanggung jawab pria itu bertambah dengan mengurus usaha sang ayah yang didirikan di Australia. Saat itu perusahaan Ayah Hyunbin memang sedang mengalami krisis berat. Beruntunglah dengan bantuan Hyunbin, usahanya bisa bangkit kembali.

Sejak saat itu, Hyunbin mulai sibuk dengan melakukan perjalanan antar benua. Namun, setiap bulannya, Hyunbin selalu menyempatkan pulang ke Seoul. Tentu saja untuk menjenguk sang kekasih. Ia benar-benar menyayangi gadis itu sampai pada taraf tak bisa membayangkan akan kehilangannya.

Sebenarnya Areum sedikit kasihan pada Hyunbin yang terlihat sangat kelelahan. Pria itu bahkan menawarkan pada Areum agar ikut bersamanya ke Australia. Hal itu tentu saja membuat Areum terkejut. Pasalnya, kuliahnya di Seoul saja belum benar-benar selesai. Masa Hyunbin sudah menawarinya untuk mengambil program master di negeri kanguru itu. Lagipula Areum tidak yakin orang tuanya mengizinkan dirinya untuk pergi keluar dari Korea Selatan. Pergi ke Seoul saja, sang Ayah sudah mewanti-wantinya dengan banyak hal.

"Bulan ini aku sidang. Doakan saja semoga lancar," jawab Areum.

Hyunbin mengangguk. "Kalau kau sudah lulus. Bulan depan aku akan datang ke rumah dan segera melamarmu. Jadi kau bisa ikut aku ke Australia."

Ucapan Hyunbin sukses membuat mulut Areum terbuka lebar. Gadis itu memukul lengan Hyunbin sembari tertawa kikuk. 

"Jangan bercanda seperti itu," wajah Areum memerah. Ia tak berani balik menatap mata Hyunbin. "Oppa hati-hati ya disana. Aku akan menunggu kabarmu."

"Aku tidak bercanda, Yoon Areum," ucap Hyunbin. Areum mengangkat wajah dan memandang ke arah Hyunbin. Ia menemukan keseriusan di dalam sana.

Gadis itu menghela napas panjang. "Usiaku masih cukup muda. Lagipula karirku disini baru dimulai. Aku baru mencapai mimpiku," Areum tersenyum lembut. "Kita bicarakan masalah itu nanti ya?"

Terdengar bunyi panggilan nomor seri pesawat yang akan membawa Hyunbin ke Australia. Kedua insan itu hanya berdiri saling tatap dalam diam. Setelah pengumuman berakhir, kini giliran Hyunbin yang menghela napas panjang. Sudah waktunya untuk pergi lagi.

"Baiklah. Kita bicarakan nanti saja," ucap Hyunbin mengalah.

Pria itu kembali membawa Areum masuk ke dalam pelukannya. Ia mengecup pelan puncak kepala gadisnya itu penuh kasih sayang. Tak mau larut dalam kesedihan, Hyunbin melepaskan rengkuhannya. Ia memandang kedua mata Areum dengan tatapan lembut.

"Aku pergi ya. Jaga dirimu baik-baik," ucap Hyunbin. Ia tak rela mengucapkan salam perpisahan.

Areum mengangguk mantap. "Oppa juga hati-hati."

"Aku mencintaimu, Yoon Areum," ucap Hyunbin.

"Nado, saranghae," balas Areum melepas kepergian kekasihnya.

---

Areum melepas kacamata dari wajahnya. Ia menangkupkan kedua tanganya menutupi kedua mata. Sudah hampir tiga jam dirinya berkutat di depan layar komputer. Matanya sangat lelah.

Gadis itu bangkit dari duduknya dan berjalan keluar kamar membawa cangkir bekas isi cokelat panasnya yang telah kosong. Ia meletakkannya pada bak cuci piring. Areum bergerak meraih gelas bersih dari dalam lemari, kemudian mengisinya dengan air mineral. Dalam satu tarikan napas panjang, ia menenggak habis isinya hingga habis tak bersisa.

Areum frustasi. Tiga jam bekerja dirinya hanya mampu menulis sepanjang tiga paragraf. Pikirannya saat ini benar-benar buntu! Padahal sang editor sudah memintanya untuk segera mengumpulkan naskah novel ketiganya. Areum mengerang pelan. Ia mencoba mengingat apa yang biasa ia lakukan ketika mengalami writers block pada saat yang lalu.

"Kalau kau tidak bisa menulis, ya jangan menulis."

Entah mengapa kalimat yang keluar dari mulut Wonwoo terngiang di dalam kepala Areum. Gadis itu berusaha mengingat-ingat hal yang ia lakukan ketika sedang stuck dalam hal menulis. Jalan-jalan, membaca buku, atau bermain. Areum terhenyak. Ia baru sadar bahwa selama ini jika dirinya sedang tidak sibuk menulis atau kuliah, Wonwoo-lah yang menemani hari-harinya.

Areum bergegas ke kamar. Dengan cepat ia meraih ponselnya dari atas meja tulis. Masih belum ada pesan dari Wonwoo. Tanpa sadar Areum membuang napas kesal. Sudah hampir dua minggu tidak ada kabar sedikit pun dari pria itu. Wonwoo hilang bagai ditelan bumi.

Gadis itu mengetikkan sederet huruf pada aplikasi chat. Tanpa pikir panjang, ia menekan tombol send. Areum meletakkan kembali ponselnya di atas meja. Gadis itu merebahkan tubuhnya di kasur dan memejamkan mata. Semoga ketika bangun nanti, sudah ada nama Wonwoo di notifikasi ponselnya.

[SVT FF Series] Parting is Such Sweet SorrowTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang