Hilya | Part 1

21.4K 726 31
                                    

Gadis berkhimar hitam dan bergamis putih itu, sesekali menyeka keringat yang membasahi dahinya. Tapi hal itu, tidak membuatnya memperlambat larinya, tapi yang ada malah semakin membuat dia memacu larinya. Khimar dan gamisnya terlihat berkibar tersapu angin, hingga membuatnya tampak seperti kupu-kupu.

"Semangat Hilya, sebentar lagi sampai." katanya dalam hati, untuk menyemangati dirinya sendiri. "Ya Allah, semoga aja nggak telat."

Tapi sepertinya, pagi ini do'anya tidak terkabul, ketika dia melihat lima orang kakak tingkat, yang memakai almamater tengah berdiri di depan gerbang kampus. Dan belum sempat dia mengatur nafasnya, setelah lari pontang-panting, seorang kakak tingkat perempuan berambut ikal memanggilnya.

"Heh! Anak baru!" panggilnya keras. "Lo tahu, ini udah jam berapa?" tanyanya sambil mengangkat tangan, seraya menunjukkan jam tangan berwarna coklat di pergelangan tangannya.

"Ma-Ma'af kak." jawabnya dengan terbata-bata. Kepalanya menunduk dalam, bukan karena takut. Tapi, karena malu, pasalnya saat ini dia tengah berada di lapangan dan banyak orang di sana.

"Kalau di ajak ngomong, tatap mukanya bukan malah nunduk."

Bahkan sepertinya, dia kehilangan kemampuan berbicaranya. Lidahnya terasa kelu. Kakinya terasa lemas dengan telapak tangan yang berkeringat.

"Kalau di tanya jawab dong! Punya mulut it-" perkataan kakak tingkat itu terpotong, oleh deheman keras laki-laki di belakang mereka.

"Cindy, udah cukup." berdiri di antara kedua gadis itu, sambil memberikan sebuah map berwarna merah kepada gadis berambut ikal itu. "Nih, lo cek sana kelompok lain. Yang ini, biar gue yang urus."

Tanpa berkata apapun, gadis itu berjalan menjauh dari mereka.

"Nama kamu siapa?" tanyanya pada gadis yang berdiri dengan kikuk di depannya, juga dengan kepala yang terus menunduk.

"Hil... Hilya kak."

"Oke Hilya, kamu boleh gabung sama yang lain."

Perlahan gadis itu mulai menaikkan wajahnya. "Benarkah kak?" tanyanya antusias.

"Emm...ya tentu saja benar." jawab laki-laki di depannya ini dengan sedikit tergeragap. "Ya, tentu."

Mata gadis itu berbinar cerah, wajahnya yang tadi pucat dengan keringat dingin yang muncul di dahi, perlahan menghilang. Kini dia terlihat lebih bersemangat.

"Terimakasih kak." dan baru saja dia akam berlari, suara kakak tingkat laki-laki di depannya terdengar.

"Tapi, setelah selesai kegiatan ospek, kamu harus bersihkan halaman belakang gedung ini. Itu hukuman untuk kamu karena sudah telat."

Glek...

Mendengar itu, langkah kakinya mendadak menjadi berat. Dia pikir kakak itu, memang baik, tapi ternyata masih aja di hukum.

"Astagfirullah hal adzim, jangan seperti itu Hilya, kamu memang bersalah jadi sudah sepantasnya di hukum. Sudah jangan mengeluh. Semangat!" katanya dalam hati.

"Danish!" panggil seorang perempuan berambut sebahu, kepada laki-laki tampan yang berjalan beberapa puluh meter di depannya.

Laki-laki itu menoleh. "Ya, kenapa Ra?"

"Jadi gini Dan, mama gue tadi nelfon, kalau barusan papa gue masuk rumah sakit karena sakit jantungnya kambuh. Lo, bisa nggak gantiin, gue ngawas anak ospek kelompok 9?"

Laki-laki bernama Danish itu, tampak menganggukkan kepalanya, tanda menyetujui permintaan temannya. "Oke, Ra. Nanti gue gantiin."

Hilya END ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang