Merapikan lembar demi lembar kertas, yang berisi berkas-berkas, dan memasukkan kedalam satu map, Danish bergegas pergi ke kampus, untuk mengurus kepindahannya ke Singapura.
"Ma, Danish ke kampus sebentar ya." pamitnya pada sang mama, yang masih saja terbaring lemah, dan belum membuka mata pasca operasi tiga hari yang lalu.
Jujur Danish berat untuk meninggalkan Jakarta, selama kurang lebih 3-4 tahun. Tapi, Danish juga tidak bisa egois, karena untuk saat ini, kesehatan sang mama adalah prioritas utamanya. Sehingga dia harus mengesampingkan dulu kepentingan pribadinya. Dia harus fokus kepada pengobatan dan perusahaan.
Danish baru saja turun dari mobilnya, ketika tiba-tiba saja ada yang menabrak dirinya dari belakang. Map yang berisi berkas-berkasnya, jatuh dan menyebabkan tumpukkan kertas itu berhamburan ketanah berumput itu. Dan saat membalikkan badan bersiap untuk memaki, kata-kata umpatan yang sudah berada di ujung lidah, masuk kembali tertelan bersama ludahnya, yang kini terasa begitu pahit.
"Hilya??!" serunya, dengan nafas yang tercekat.
Hilya, tersangka yang sudah menabrak dan menyebabkan kertas-kertasnya berhamburan itu, tengah menunduk seperti biasa di depannya, sembari meremas jari-jemarinya.
"Ma-Ma'af kak." katanya dengan terbata, dan juga suara yang sedikit bergetar.
Danish menghembuskan nafasnya kasar, untuk menyingkirkan rasa kesal di dalam hatinya. Jika saja bukan Hilya yang menabrak, sudah pasti Danish akan memaki habis-habisan orang itu. Tidak perduli perempuan ataupun laki-laki.
"Mau sampai kapan berdiri di situ?" tanyanya pada gadis, yang masih saja betah menundukkan kepalanya. "Nggak ada niatan mau bantuin aku, buat ngambilin kertas-kertas itu?"
"I-iya kak, aku bantuin deh." jawabnya dengan suara yang sangat pelan. Dan detik itu juga, dia langsung bergegas mengumpulkan kertas-kertas itu dan memberikannya kepada Danish.
Hilya bahkan merasa menjadi orang paling bodoh saat ini. Karena bisa-bisanya dia malah berdiri diam disana, bukannya langsung mengumpulkan kertas-kertas itu dan langsung pergi. Ehh... Dia malah diam disana, berdiri bagai orang bodoh dan aneh.
"I-ini k-kak," dengan tangan bergetar, Hilya memberikan tumpukkan kertas di tangannya kepada Danish, yang tengah memandang dirinya dengan tatapan tajamnya. Membuat Hilya, ingin cepat-cepat pergi dari hadapan laki-laki arab itu.
"Sekali lagi ma'af kak, per-" perkataan Hilya langsung terpotong ketika Danish dengan seenaknya berkata. "Jadi cuma gitu, cara kamu meminta ma'af? Kamu yakin aku bakalan ma'afin kamu?"
Perkataan Danish barusan, membuat Hilya menegang di tempat. Gadis itu semakin menundukkan kepalanya di sertai kakinya yang bergerak gelisah. Dia malu dan juga mulai merasa tidak nyaman, ketika dia menyadari jika kini, mereka tengah menjadi perhatian dari mahasiswa dan mahasiswi yang berada di sekitar parkiran kampus.
"Kok diem?"
"Ja-jadi harus gi-gimana?" tanyanya sembari meremas tali ranselnya. Dan entah mendapat pemikiran darimana, Hilya kemudian membuka tas dan mengambil beberapa bungkus permen rasa stroberi, yang berada di tasnya.
"Ini untuk kak Danish sebagai tanda permintaan ma'af." katanya cepat, tanpa titik dan koma sambil meletakkan beberapa bungkus permen itu, diatas tumpukkan kertas yang di pegang oleh Danish. "Permisi kak, Assalamu'alaikum." pamitnya pada Danish, dan langsung berlari kearah lobby.
Sedangkan Danish, langsung menjatuhkan pandangannya, pada beberapa butir permen stroberi yang kini berada di atas tumpukkan kertasnya. "Permen??" gumamnya seolah tidak percaya, "Emang dia pikir aku anak kecil apa?" ujarnya sambil menggelengkan kepala dan juga terkekeh geli.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hilya END ✅
Roman d'amourGadis cantik itu bernama Hilya, sebuah nama indah yang cocok di sematkan untuk gadis sepertinya. Gadis yang mampu merubahku untuk melangkah ke arah yang lebih baik, hanya karena aku menyukainya. Gadis kaku yang selalu membuat ku rindu, walau dia tid...