"Hilya, maksud kedatangan tante kesini. Tante ingin menyampaikan pesan dari anak tante, yaitu Alan, untuk kamu."
"Apa itu tan?" tanya Hilya, sembari mengelap bibirnya dengan tisu.
Menggenggam tangan Hilya, yang berada dia atas meja. Perempuan paruh baya itu kemudian berkata. "Hilya, Alan ingin melamar kamu. Dia ingin kamu menjadi istrinya. Apa kamu bersedia?"
Hilya hanya bisa diam. Dia sama sekali tidak memberikan respon apapun atas pertanyaan itu. Dia terlalu bingung.
Mengerti dengan perasaan puterinya, Rahma langsung angkat bicara. "Ma'af Sar, tapi ada baiknya berikan Hilya waktu untuk berfikir. Karena ini bukan persoalan yang main-main." ujar Rahma bijak.
"Iya, aku mengerti. Aku akan memberikan Hilya waktu, dan memberi pengertian kepada Alan." katanya sambil tersenyum lembut kepada Hilya dan ibunya.
Airmata Hilya kembali jatuh. Entah itu airmata bahagia atau duka. Diapun tidak mengerti. Yang jelas, dia hanya ingin menangis untuk saat ini.
Di liriknya paperbag pemberian Alan yang dia letakkan di atas meja. Dengan sedikit perasaan kesal, Hilya mengambil dan kemudian dia masukkan kedalam lemari pakaiannya yang paling bawah. Dia tidak ingin melihatnya, karena entah kenapa ketika melihat dia pasti teringat Alan, yang mana hal itu selalu saja membuat dia badmood seharian.
Setelah menyembunyikan barang pemberian Alan, Hilya kemudian berjalan menuju kamar mandi untuk membasuh mukanya. Dan setelah itu dia keluar dari kamar. Tujuannya adalah dapur untuk membuat puding karamel, makanan favoritnya saat sedang di landa stress atau banyak pikiran. Dengan cekatan, Hilya mulai menyiapkan bahan untuk pudingnya. Beruntung ayah, umi dan abangnya sedang tidak dirumah, jadi Hilya bisa sedikit bebas menikmati kegalauannya, tanpa harus di pusingkan dengan berbagai pertanyaan dari orangtua dan kakaknya.
Satu jam lebih berada di dapur dan berkutat dengan berbagai bahan juga peralatan untuk membuat puding, akhirnya makanan kesukaannya pun siap untuk di makan. Rasa manisnya yang khas, membuat Hilya sedikit merasa lebih tenang. Memang benar kata orang, jika makanan manis bisa menjadi salah satu alternatif, untuk meredakan stress.
Sambil membawa semangkuk puding, Hilya berjalan menuju kamarnya. Dia ingin menulis sesuatu di blog nya.
Hai...
Kamu yang masih berupa bayang semu.
Bagaimana kabar dirimu kini?
Bahagiakah kau disana?Kira-kira kapan kamu akan kembali?
Kembali ke sini, ketempat yang sudah siap untuk kau singgahi...Aku sudah mulai lelah
Lelah untuk menyimpan rindu, tangis, dan sunyi ini sendiri.
Jadi ku mohon...
Segeralah kembali...Jakarta, 13:00pm
-h-Huffftt... Hilya menghembuskan nafasnya kasar, ketika dia baru memposting tulisan di blog nya. Lagi dan lagi dia memposting tulisan seperti itu. Ada apa dengan dirinya? Itu yang masih dia tanyakan pada dirinya sendiri, setidaknya untuk saat ini.
Jika Hilya tengah duduk di depan laptop sembari memakan puding kesukaannya, di seberang sana tepatnya di apartemen Danish, laki-laki itu tengah menahan kesal setengah mati, karena kedatangan seorang Amara. Orang yang paling tidak ingin dia lihat dan temui, dimanapun dan kapanpun.
Gadis itu memang sangat nekat dan juga bebal. Dia bahkan bersikap seolah-olah sangat akrab dengan Danish, di depan Rike -ibunda Danish. Perkataan Danish ketika dirumah sakit, tentang larangan untuk datang dan menemui mamanya, sepertinya hanya di anggap angin lalu olehnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hilya END ✅
RomanceGadis cantik itu bernama Hilya, sebuah nama indah yang cocok di sematkan untuk gadis sepertinya. Gadis yang mampu merubahku untuk melangkah ke arah yang lebih baik, hanya karena aku menyukainya. Gadis kaku yang selalu membuat ku rindu, walau dia tid...