"Lho, kalian udah saling kenal?" tanya mama Rike, ketika mereka saling menyebut nama satu sama lain.
"Hilya adik tingkat Danish ma." jawab Danish cepat. Dan hal itu membuat Hilya harus menelan kembali ucapannya, yang sudah berada di ujung lidah.
"Danish ini pernah makan malam dirumah saya mbak, waktu ulang tahun Hilya minggu lalu."
"Lho, kok bisa? Gimana ceritanya?"
"Di ajak sama Andra ma, tetangga sebelah rumah kita itu lho, ternyata dia sepupuan sama Hilya."
"Oh, ya ampun, ternyata dunia ini emang sempit ya mi." ujar, mama Rika sambil tersenyum.
"Iya mbak."
Obrolan antara para ibu itupun masih berlanjut. Berbeda dengan mama dan uminya yang asyik mengobrol. Hilya dan Danish hanya diam saja, bagaikan dua orang yang tidak saling mengenal.
"Umi ayo, pulang. Nanti kesorean lho nyampe rumahnya." ajak Hilya, kepada uminya, yang masih asyik mengobrol dengan mamanya Danish.
"Iya sayang. Mbak duluan ya, Hilya udah capek kayaknya makanya ngajak pulang."
"Iya nggap papa, ini saya juga mau pulang kok."
Tidak seperti biasanya, yang selalu bercerita tentang semua hal, ketika sedang bersama dengan ibunya, sore ini Hilya hanya diam saja. Dia lebih memilih memandang keluar jendela mobil, melihat deretan gedung-gedung pencakar langit yang tertimpa kilau cahaya senja.
"Kamu sakit sayang?" tanya umi Rahma, ketika melihat wajah putrinya yang hari itu nampak begitu sendu.
"Hm, ng-nggak kok mi?"
"Beneran?"
"Beneran umi, emang kenapa sih? Kok nanya kayak gitu?"
"Ya habisnya kamu jadi anak pendiam banget hari ini. Biasanya kan bawel, kalau lagi berdua di mobil kayak gini."
"Nggak papa kok, mi. Emang hari ini lagi pengen diam aja. Hehe."
Menggelengkan kepalanya sembari tersenyum hangat, sang umi kembali berkata. "Umi mengandung kamu sembilan bulan sayang. Jadi, kalau kamu ada sesuatu umi pasti tahu, umi bisa merasakan itu." ucap uminya lembut.
"Ma'afkan Hilya umi,"
"Ma'af kenapa sayang? Kamu kan nggak punya salah sama umi."
Dan akhirnya, cerita itu mengalir dari mulut Hilya. Cerita tentang dia yang pergi ke kampus bersama Danish, ketika mobilnya mogok. Dan cerita-cerita lainnya tentang Danish, si kakak yang selalu menatapnya dengan tajam. Dan umi nya pun sempat beberapa kali terkekeh, ketika Hilya menceritakan tentang bagaimana dia ngeyel duduk di kursi belakang, yang mana itu membuat Danish berkata, bahwa dia bukan supir Hilya.
"Kamu sangat polos nak." Batin sang umi, di dalam hati.
"Umi nggak marahkan?" tanya Hilya, ketika dia sudah menyelesaikan ceritanya.
Uminya menggelengkan kepalanya pelan. "Kenapa harus marah, kamu kan nggak melakukan kejahatan."
"Tapi Hilya sudah berada di dalam satu mobil, sama laki-laki yang bukan mahram Hilya umi."
"Itukan bukan kamu sengaja sayang, itu keadaan darurat. Yang penting kamu baik-baik saja sekarang." ujarnya sembari mengelus kepala putrinya. "Tapi, mulai sekarang kamu berangkatnya sama abang atau ayah aja ya. Umi takut kejadian seperti itu terjadi lagi. Masih untung waktu itu ketemunya sama Danish, kalau orang jahat gimana?"
Dan perkataan uminya itu langsung di angguki oleh Hilya, dia tidak akan bandel mengendarai mobil sendiri lagi. Dia kapok.
"Tapi umi, Hilya jahat sama kak Danish."
KAMU SEDANG MEMBACA
Hilya END ✅
RomanceGadis cantik itu bernama Hilya, sebuah nama indah yang cocok di sematkan untuk gadis sepertinya. Gadis yang mampu merubahku untuk melangkah ke arah yang lebih baik, hanya karena aku menyukainya. Gadis kaku yang selalu membuat ku rindu, walau dia tid...