Gadis cantik itu berlari dengan tergesa, sembari berusaha mengenakan jas lab. Karena seperti yang sudah di jadwalkan, praktikum hari ini, akan di mulai pukul sembilan pagi, dan sekarang sudah pukul sembilan kurang lima menit. Jadilah dia berlari-lari dari mulai dia turun dari mobil.
Dia adalah Hilya, Mahasiswi kedokteran yang sekarang sudah duduk di semester akhir. Gadis cantik yang di kabarkan tengah dekat dengan seorang dosen muda yang juga mengajar di kampusnya. Bahkan sempat beredar kabar, jika keduanya akan menikah dalam waktu dekat. Dan entah darimana, mereka mendapat kabar itu. Hilya pun tidak mengerti.
Sedangkan Hilya sendiri hanya bungkam, jika ada yang bertanya tentang hal itu kepada dirinya. Karena Hilya adalah salah satu orang yang selalu menutup diri tentang masalah pribadinya. Hanya Allah dan orang terdekat yang tahu, apa masalah dan juga sesuatu yang terjadi pada kehidupannya.
"Aku belum telat kan?" tanyanya pada Anindya, begitu dia masuk dan duduk di sebelah sahabatnya itu.
Anindya memandang Hilya dengan gemas, "Kenapa bisa telat sih? Untung aja pak Abdul belum masuk."
"Biasalah, bang Atta lama. Di tambah macet." gerutunya dengan bibir yang sudah manyun.
"Jangan nyalahin bang Atta dong, kamu telat karena pasti, emang kamunya aja yang lama." Bela Anindya tak terima.
Hilya memutar bola matanya malas. Selalu saja seperti ini. Dimana Anindya akan selalu melakukan pembelaan terhadap abangnya. "Emang abang Atta yang lama. Nggak percaya banget deh."
Dan Anindya, hanya mengibaskan tangannya acuh. Yang mana itu membuat, Hilya semakin memanyunkan bibirnya kesal.
Praktikum itu berakhir, tepat ketika adzan dzuhur berkumandang. Sehingga Hilya dan Anindya, memilih untuk menunaikan sholat dulu, sebelum makan siang.
"Assalamu'alaikum." suara seseorang yang mengucap salam dari arah belakang tubuhnya, membuat Hilya yang tengah memasang sepatu, langsung membalikkan badannya untuk melihat, siapa yang tengah mengucapkan salam kepadanya. Dan ternyata, orang itu adalah Alan.
"Walaikumsalam." ucapnya sambil kembali, menghadap kearah depan, dan kembali memasang sepatu.
Laki-laki itu kemudian duduk di ujung teras masjid kampus. Dia terlihat tengah memakai kaos kakinya sekarang. "Ada praktek lagi?" tanyanya, tanpa menatap kearah Hilya.
"Iya pak." jawab Hilya dengan singkat.
"Sampai kap...?"
"Hil, sorry agak lama, toilet antri banget." Anindya yang baru datang, langsung saja berbicara tanpa rem, yang membuat perkataan Alan terpotong. Akan tetapi, sepertinya dia tidak sadar akan hal itu. Dia tidak mengetahui, jika Alan ada di ujung teras itu.
"Iya nggak papa."
Memakai sepatunya dengan cepat, Anindya langsung berdiri dan mengajak Hilya ke kantin. "Ayok buruan Hilya, udah laper banget ini."
"Iya, sabar." katanya sambil berdiri dari duduknya dan menggendong ransel. "Duluan pak, Assalamu'alaikum." ujarnya ketika melewati Alan.
"Lho, ada pak Alan? Sejak kapan?" Anindya bertanya, ketika dia baru tahu, bahwa ternyata ada Alan disitu.
"Dari semenjak kamu keluar dari toilet, dia udah ada disitu."
"Kok aku nggak lihat sih."
"Kamu kan emang gitu, kalau udah laper udah nggak perduli sama sekitar." godanya pada Anindya.
"Resek ih." ujar Anindya sewot.
Namun beberapa detik kemudian, senyum jahil terbit di wajah gadi berambut panjang itu. "Cieee... Hilya habis ngobrol sama calon suami."
KAMU SEDANG MEMBACA
Hilya END ✅
RomansaGadis cantik itu bernama Hilya, sebuah nama indah yang cocok di sematkan untuk gadis sepertinya. Gadis yang mampu merubahku untuk melangkah ke arah yang lebih baik, hanya karena aku menyukainya. Gadis kaku yang selalu membuat ku rindu, walau dia tid...