Di hari yang cerah ini, aku tengah bersiap dengan seragam abu-abu. Berdiri di depan cermin, sambil melihat bayangan diriku. Aku terdiam memandangi penampilanku, wajahku, dan juga mata yang beberapa hari terakhir ini menyukai kebiasaan barunya. Melihat lelaki bermata lentik dengan senyum teduhnya. Aku tersenyum sebelum menundukkan kepala. Apa ini yang namanya jatuh cinta kedua kalinya?
Aku menghela napas pelan. Mencoba menenangkan pikiran. Tapi, jantungku terus berdegup kencang. Aku tidak tahu harus melakukan apa. Meskipun aku pernah jatuh cinta, tapi aku tidak pernah merasakan sebegini gugupnya sebelum bertemu dengannya.
Pintu kamarku terketuk. Aku yakin dia Bang Candra. Seperti biasanya, dia menyuruhku segera turun untuk sarapan.
"La,udah siap?" teriaknya diluar pintu kamarku.
"Udah, Bang. Tunggu!"
Aku memandang penampilanku sekali lagi sebelum turun. Aku tersenyum tipis melihat pantulan wajahku di cermin. Kenapa banyak sekali harapan di dalam benakku. Aku takut semua itu akan tenggelam, termasuk harapanku bersamanya.
"Bang!" ucapku pada Bang Candra yang tengah mengoleskan selai.
Dia menoleh, dan menatapku bingung.
"Ada apa?"
"Killa mau cerita boleh?" tanyaku ragu-ragu.
Bang Candra hanya tersenyum, "Tumben banget mau curhat."
"Duduk dulu! Sarapan yang banyak biar gak kusut tuh muka," perintah Bang Candra sembari menarik kursi untuk tempat dudukku.
Setelahnya, aku hanya diam. Mengunyah pelan roti berselai kacang itu dengan pikiran yang berkecamuk.
"Mau cerita apa? Tentang bulu tangkis yang dilarang orang tua, apa tentang menulis cerita yang gak tahu gimana ending nya?" tanya Bang Candra.
Mendengar perkataannya, aku merunduk sedih. Aku masih ingat betul, bagaimana orang tuaku sangat marah ketika aku meminta izin untuk bermain bulu tangkis lagi. Tentang kegiatan menulis, aku menyelesaikannya dengan penuh ketenangan. Mungkin, ceritanya akan seperti kisahku. Karena seseorang yang hadir beberapa hari ini, menjadi inspirasi menulis tentang patah hati ketika diam-diam mengagumi.
"Eh, bukan kok. Bukan itu. Kalau masalah itu, aku pasrah aja gimana nantinya," jawabku.
"Terus?" Bang Candra bertanya lagi. Dan kali ini dia sambil menyuapkan roti dimulutnya.
Aku semakin membeku, jantungku berdegub kencang, mungkin pipiku telah memerah sekarang. Sudah kedua kalinya aku bercerita dengan kakakku tentang perasaanku. Namun kali ini, entah mengapa aku merasa gugup ketika ingin berbagi cerita dengannya.
Aku berdehem pelan, "Bang! Kalo aku suka sama cowok lagi, ntar patah hati kaya' dulu apa enggak ya?"
Bang Candra terkekeh. "Kenapa tanya kaya' gitu?"
Aku tahu gelagatnya. Pasti dia sudah mempersiapkan segala ide liciknya. Mungkin setelah ini, jika Bang Candra mengetahui kalau aku sedang menyukai seseorang, dia akan semakin gencar memanfaatkan keadaanku.
"Enggak. Killa cuma mau tanya aja kok," jawabku sedikit gugup.
Bang Candra kemudian mengangguk dengan senyuman jahilnya. "Oke, Abang tau kok! Pasti kamu udah dapet ganti kan? Elang udah dilupain nih ceritanya?"
Dengan ragu, aku menjawab, "Iyalah! Lagian ngapain juga masih mikirin Elang yang gak peka sama perasaan aku."
Kalau saja aku jujur, sebenarnya rasa lama masih belum sepenuhnya hilang. Tapi, saat ini sudah berbeda. Aku lebih menyukai orang yang baru datang dalam hari-hariku, yang membuatku selalu kepikiran beberapa hari terakhir ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
PROSPECT HEART (End)
Teen FictionHanya untaian kalimat untuk rasa yang tak sampai, untuk harap yang tak terungkap, dan kisah yang tak pernah singgah. Cerita ini ditulis, untuk kamu yang sangat jauh dariku. Berharap mampu menyampaikan perasaan yang pernah ada untukmu. Rasakan dan r...