Ini, entah minggu keberapa aku tidak melihatnya. Seusai upacara hari Senin pun, aku sulit mencari keberadaanya. Tempat-tempat yang sering dia datangi, sudah membuatku berkeliling tiap hari. Lagi-lagi, setelah jarak sedekat fajar dan pagi, dia memilih pergi. Menghilang, dan tak mau menunjukkan diri. Kadang, aku mencoba memahami, bahwa kesibukan mulai tak terkendalikan. Mengingat beberapa hari lagi akan ujian.
Seingatku, ini sudah jadwal keempat latihanku tidak ada. Kabar darinya sudah tak lagi menjadi notif rutin. Dia tidak tahu, disini aku sedang terombang-ambing oleh rasa rindu. Dengan penuh tekad, aku menghilangkan rasa raguku ketika mencoba memberanikan diri untuk menghubunginya. Tapi, yang ada hanya centang dua abu-abu dan suara dari operator.
Aku memperhatikan setiap ujung sudut lorong sekolahan. Mataku menelisik, sekiranya bisa melihat sekelebat dirinya. Namun, yang aku lihat hanya kehampaan. Dari sekian banyak siswa yang berkeliaran, aku tak mendapatinya. Dimana dia?
Aku melangkah pelan, menemui Lea yang sedari tadi tidak mengikutiku. Semenjak hubungannya dengan kakakku semakin rekat, aku merasa Lea malah jauh dariku. Mungkin, dia merasa sedikit canggung.
"Lea!!" teriakku.
Lea menoleh, menampilkan senyum lebarnya untukku.
"Tumben?" tanyanya yang membuatku bingung.
"Kenapa?" Aku mengambil duduk disebelah Lea. Membeli sebotol minuman dan membuka buku catatanku. "Lea, aku mau cerita."
"Tumben, gak nempel sama doi? Mau cerita apa?"
Aku membuka bolpoin biru dan membuka lembaran yang entah keberapa. "Emang aku punya doi?" tanyaku sembari menulis sesuatu.
"Sejak kapan, Killa punya doi. Ngarepin satu aja belum jadi-jadi." jawabnya yang membuatku menghela napas.
"Nah, tuh tau. Dia bukan doi. Dia Aska, kakak kelas yang ku kagumi diam-diam, yang membuatku kembali berani menaruh harapan, yang membuatku bertahan dalam satu perasaan. Dan..." Aku menggantungkan kata-kataku. Tanganku masih menuliskan sesuatu di buku catatan.
Lea mendengarkan ceritaku. Dia terlihat mencermati kata-kataku, sesekali memainkan ponselnya.
"Dan, yang membuatku kembali merasakan luka. Luka akan harapan tinggi yang tak pernah bertepi." lanjutku.
Lea menaruh ponselnya. Menatapku dalam-dalam. Seakan dia tahu apa sedang yang aku rasakan. Kini, aku merasa waktu yang sudah berlalu, berputar kembali. Dimana aku akan lemah setelah buih-buih angan terasa nyata.
"Udah deh. Sekarang kamu diam aja. Turutin kata hati. Siapkan apa yang akan selanjutnya terjadi. Kamu tahu sendiri kan? Kak Aska itu orangnya gimana? Jadi ya, apapun yang terjadi kemarin-kemarin, gak usah sering dipikirin. Aku cuma takut, kalau kamu jadi korban harapan palsu. Aku tahu, Kak Aska itu baik. Dia gak mungkin ngelakuin itu. Cuma, ya aku saranin gini aja ke kamu. Pokoknya, anggap aja kamu lagi nge-fan sama dia. Biar kalau suatu saat dia udah lulus, tapi perasaan kamu gak kebalas, kamu masih bisa rela."
Aku mengangguk. Mungkin ini saran terbaik. Aku memang berharap padanya. Tapi belum tentu pada akhirnya semua akan sesuai dengan apa yang ku inginkan. Aku harus mencoba memahami keadaan sekarang. Mungkin, Kak Aska baik karena dia memang baik. Bukan untuk mengistimewakan diriku.
Tapi, ada kejanggalan dalam diriku ketika mencoba meyakini hal itu. Tak biasanya, Kak Aska seperti ini. Paling tidak, sesibuk-sibuknya dia, pasti akan memberitahu tentang jadwal anak-anak ekstra. Apa mungkin, aku sudah berbuat kesalahan padanya?
KAMU SEDANG MEMBACA
PROSPECT HEART (End)
Fiksi RemajaHanya untaian kalimat untuk rasa yang tak sampai, untuk harap yang tak terungkap, dan kisah yang tak pernah singgah. Cerita ini ditulis, untuk kamu yang sangat jauh dariku. Berharap mampu menyampaikan perasaan yang pernah ada untukmu. Rasakan dan r...