|| Kembalinya asmara

116 29 0
                                    

Jam kosong hari ini aku lebih memilih untuk membaca novel di gazebo depan kelas. Sambil menghadap ke arah depan, rumah-rumah yang terlihat kecil itu membuatku tersenyum. Ketika aku membaca halaman pertama, seketika aku merasa tertohok dengan kalimat yang tertulis di sana. Seperti itukah rasa? Padahal hati merasa terluka. Tapi, dengan mudahnya dia menerima segalanya.

Untuk hati yang masih belum merelakan dia pergi.

Layaknya mentari yang terbit di setiap pagi. Bisa saja besok dia akan bersembunyi. Di balik derasnya hujan dia berkata dalam diam. Berharap cintanya pada alam akan segera terbalaskan. Dia mengerti cinta itu misteri. Namun, rasa tidak pernah memilih kapan dan untuk siapa dia hadir. Hari ini alam memilih hujan. Mungkin setelah hujan pergi, alam akan mencintainya lagi. Membiarkan dia tersenyum dengan sinarnya yang menerangi bumi.

"Ck, novel galau kaya' gitu apa sih manfaatnya?" Suara itu membuyarkan pikiranku.

Aku hanya mengelus dada, melihat Lea dengan botol minuman yang ada di tangannya. Dia memang seperti itu. Datang tak di undang dan selalu membuatku kaget. Menyebalkan.

"Duduk!" perintahku padanya.

Aku bisa melihat wajah kusut Lea yang sepertinya merasa jengah dengan sikapku. Setiap hari, dia yang selalu menyadarkanku dari semua ilusi. Aku yang sering berimajinasi dan berakhir dengan menangis.

"Killa!" panggilnya sembari menatapku.

"Kamu gak lelah gitu sama semua ini? Aku tahu, mulai pertama kali ketemu sama dia aja caramu menatap udah beda. Aku yakin sih, kalo itu namanya cinta. Gak tau kalau kamu mikirnya apa. Tapi, aku harap mending gak usah mikir dia melulu deh. Aku aja yang gak ngerasain capek lihatin kamu kaya' gitu." ujarnya.

Aku menunduk, masih dengan telinga terbuka yang siap mendengar semua perkataan Lea.

"Coba aja dulu kita gak ketemu. Yakin deh, kalau kamu gak bakal kaya' gini. Mikirin dia tiap hari. Padahal yang di sana cuek bebek sama sekitar." lanjutnya.

Perlahan, aku mendongakkan kepala. Mengutarakan kembali pertemuan itu. "Waktu itu, kita sedang beli jus di depan gerbang. Gak sengaja, ngelihat seorang cowok yang aura beda dari teman-temannya. Dia baik," Aku tersenyum mengingat itu. "Jarang bicara tapi sering tersenyum." lanjutku.

Aku semakin hanyut dengan cerita itu. Seakan-akan otakku sedang memutar memori di mana aku pertama kali bertemu dengan dia.

"Kamu ingat? Kita pernah rela lari-lari turun dari tangga lantai atas, cuma buat apa coba? Astaga kok aku juga ikut-ikutan tolol ya waktu itu," ujar Lea kesal.

Aku tersenyum, "Buat nungguin dia keluar dari parkiran kan? Biar bisa lihat wajahnya saat pakai helm fullface. Yang cuma kelihatannya matanya doang."

Aku semakin hanyut dalam obrolan tentang masa itu.

"Ah udahlah! Aku jadi gemas sendiri ingat hal bodoh itu," ujar Lea sembari tertawa kecil.

"Sekarang juga gitu kali." Aku menanggapi.

Lea mendengus sebal, "Iya itu Killa. Bukan Lea." tegasnya.

Aku menggeleng pelan dengan senyuman yang belum memudar. "Kalau kamu masih suka kaya' waktu itu, ikut-ikutan kepoin Kak Aska. Mana mungkin Bang Candra masuk di hati kamu?."

Lea langsung terdiam. Sorot wajahnya membuatku merasa sedikit tidak enak. Apa aku salah bicara?

"Ya gitu sih. Aku emang udah sayang banget sama Abang kamu. Tapi, aku sama kak Candra gak punya hubungan apa-apa." jawabnya membuat mataku membulat.

"Ma-maksudnya?"

Lea tertawa dan menjitak kepalaku. Aku langsung mendelik sebal. Bisa-bisanya dia bercanda ketika aku sedang serius seperti ini. Seperti perasaan ini. Ketika aku semakin nyata untuk mengejar harapan itu, semakin ekspektasi pula dia hadir menjadi milikku.

"Jangan kaget kaya' gitu! Aneh. Aku sama Kak Candra emang gak punya hubungan apa-apa. Kita memang dekat, tapi kita tidak terikat. Semacam melengkapi tapi tidak saling memiliki. Tapi, aku tetap senang kok. Setidaknya aku gak perlu berharap pada banyak orang dengan kehadirannya, perhatiannya, dan kasih sayangnya."

Aku menatap ke arah depan dengan pandangan kosong. Tapi telingaku masih mendengar cerita dari Lea. Sahabatku itu sudah merasa beruntung walau kakakku tidak memberinya kepastian. Namun, bagaimana dengan aku? Masih terombang-ambing dalam khayalan yang ku jadikan sebuah harapan namun tak menjamin sebuah kepastian.

"Hei kamu jangan cemburu." ujarnya yang membuyarkan lamunanku.

Aku menoleh dan mengernyit bingung. Tapi, aku segera paham maksud perkataan Lea. "Apa-apaan sih Lea. Mana mungkin aku cemburu sama Abang sendiri. Dia juga berhak menyayangi wanita lain selain aku dan mamaku. Jadi gak usah berpikiran seperti itu. Apapun keputusanmu dengan kakakku, aku akan selalu menerimanya."

Lea tersenyum hangat dan memelukku.

Ah sial, kenapa aku merasakan sedang bersama kakak ipar. Lea, sahabatku itu dekat dengan kakakku. Jika takdir menyatukan mereka, berarti Lea benar-benar akan menjadi kakak iparku. Membayangkannya membuat aku tertawa geli. Bagaimana jika nanti Lea akan menghabiskan waktunya dirumah bersamaku, bukan dengan Bang Candra. Sungguh konyol.

"Aska!! Tolong bantuin aku, berat nih."

Aku mendengar teriakan keras itu, dan aku segera menoleh. Rupanya, dia kakak kelasku yang sedang kuwalahan membawa setumpuk buku.

Aku segera melihat ke segala arah. Dan benar, dia sedang menuju ke arah gadis itu. Melihatnya, membuatku merasa iri. Kapan aku akan seperti itu? Bahkan tahu namaku saja, dia tidak.

"Kamu bawa yang tipis aja. Yang tebal biar aku yang bawa."

Aku mendengar suara Kak Aska. Pria lemah lembut yang aku sukai beberapa bulan ini. Suaranya masih sama. Terdengar ramah dan menenangkan. 

Aku masih nyaman dengan posisiku yang melihatnya dari kejauhan. Mata lentiknya membuat aku terpana-pana. Aku bisa leluasa melihat bulu mata yang aku sukai itu tanpa terhalang kacamata.

Aku sadar, jika saat ini Lea masih di sampingku. Mungkin dia membiarkanku bergelayut dalam pemandangan ini. Tidak seperti biasanya, Lea yang selalu membawaku pergi ketika aku bertemu dengan dia. Saat ini mungkin Lea sedang memberi aku waktu, untuk menatap harapan besar di sana.

Setelah Kak Aska pergi, aku menghembuskan napas lega. Rindu setelah beberapa hari tak bertemu, sudah terobati dengan menatap lama wajahnya.

"Gimana? Sudah puas lihatnya?"

Aku mengangguk. Lea segera beranjak dari duduknya dan membawaku ke kelas.

----------------------------------------

Segores tinta yang melukiskan kalimat ini, ingin aku katakan padamu.
Bahwa dengan kehadiranmu, sebuah bahagia dan luka, kini kembali hinggap dalam dada.
Mengisi celah hampa, yang dulunya pernah dihuni cerita pertama.
Membuat ukiran baru, tuk menghapus segala ukiran luka lama
Menjadikan diriku, kembali menjadi sosok yang mengenal cinta
Tapi aku tak tahu,
Apakah ini cinta atau sekedar ambisi.
Yang jelas, denganmu, aku kembali dalam sebuah ruang asmara

___________________________

PROSPECT HEART (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang