|| Mimpi yang pilu

57 17 0
                                    

Melihatmu sedekat ini pernah menjadi khayalanku disetiap pagi. Kita bercengkerama manis, hingga aku terlena karenamu aku pernah menangis.

"Dek, kamu emang jago main badminton ya ternyata."

Aku dan Kak Aska duduk ditepi lapangan. Kami se-tim baru saja menyelesaikan pertandingan dengan SMA Pradipta. Peluh dan rasa lelah yang kami rasakan, hilang begitu saja melihat piala emas yang kami dapatkan.

Aku tersenyum malu mendengar pujian darinya. Kalau saja aku dikamar sendirian, mungkin aku sudah berguling-guling diatas ranjang.

"Aku dari dulu emang suka banget kak. Tapi orang tua aku gak pernah ngizinin."

Kak Aska mengangguk mengerti. Sesaat kami terdiam sambil memandangi sekitar lapangan yang masih ramai dengan siswa. Diantaranya juga anggota ekstra.

Dua minggu ini perasaan hangat dan damai selalu mengalir dalam diriku. Apalagi saat ini semuanya berbeda. Dia yang dulu sebatas angin, kini sudah menjadi benda nyata yang bisa ku ajak berbicara.

Aku dan Kak Aska sering bertemu. Meskipun pertemuan kami tak jauh perihal badminton. Walau begitu, harapan yang ku bangun masih tetap bertahan.

"Tapi kamu harus bersyukur, Dek. Kamu masih punya kesempatan untuk diizinin masuk badminton. Dulu, saya juga pernah ngerasain hal yang sama. Tapi dengan usaha, akhirnya saya bisa jadi seorang atlet ."

Aku terkesima mendengar penuturan lembut Kak Aska. Suara itu penuh dengan keyakinan, hingga siapapun yang mendengarnya pasti akan terus maju menggapai harapan.

"Iya Kak. Setelah aku diberi kesempatan, rasanya harapanku juga kembali. Hobiku akan terasa lebih bisa dinikmati."

Kak Aska tersenyum. Senyum manis yang membuatku candu.

"Semangat terus Dek. Saya ngerasa kamu pantas jadi ketua ekstra berikutnya," ujarnya yang membuatku tertawa kecil.

Aku mengedarkan pandangan. Dan seketika, aku menangkap wajah Lea yang celingukan memandang segala arah. Aku tahu, mungkin dia sedang mencariku. Aku beranjak dari duduk dan segera memanggilnya.

"LEA! Aku disini."

Lea menoleh dan tersenyum lega. Dia menghampiriku dengan membawa sekotak nasi.

"Ya ampun. Capek tau nyariin kamu."

Aku tertawa geli melihat raut wajah masam gadis didepanku. "Maaf! Gak lagi deh."

Kini, aku melihat Kak Aska yang masih menonton kami berdua. Mendadak, aku kembali canggung karena melupakan seseorang diantara kami.

"Eh, Kak kami pulang duluan ya. Udah sore," pamitku pada Kak Aska.

Kak Aska mengangguk dan tersenyum. Entah sudah berapa banyak aku melihat senyum itu untukku semenjak pertemuan pertama kali.

"Hati-hati dijalan."

Aku mengangguk dan segera menyeret Lea. Sudah ku duga, sahabatku tadi senyum-senyum sendiri melihatku bercengkerama dengan Kak Aska. Mungkin setelah ini dia akan meledekku habis-habisan.

"Gila ya. Udah main deket aja kamu."

Aku mencubit lengan Lea. "Apa sih. Biasa kali."

PROSPECT HEART (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang