ll Masa lalu mengubur kenangan

98 29 0
                                    

Hal yang suka aku lakukan dalam keadaan malam seperti ini adalah duduk bersandar di samping tempat tidur, membuka kaca jendela, dan menatap ke luar. Malam ini tidak seperti biasanya. Hari sebelumnya bintang tidak terlihat karena mendung menutupi. Namun, kini bahkan sang rembulan pun menampilkan guratan senyumnya.

Hatiku menghangat setelah sekian lama aku tidak pernah merasakan rasa ini. Kini dia telah hadir kembali. Meskipun aku sangat tahu, rasa ini hadir dengan membawa seribu satu pilu.

Aku membuka lembaran pertama. Tinta biru itu melukiskan sebuah kata. Sebuah kata dengan sejuta harapan di dalamnya. Berharap dia yang ada di sana segera membuka mata. Melihat siapa yang diam-diam mengharapkannya.

"Killa! Ck, udah Abang tebak kamu pasti belum tidur." Suara itu membuatku seketika menoleh.

Bang Candra berkacak pinggang sembari memutar bola matanya malas. Beberapa minggu terakhir ini, aku sadar kalau aku jarang tidur tepat waktu. Bang Candra mendekatiku. Dia menarikku agar berdiri. Aku bisa melihat pandangan matanya yang begitu mengkhawatirkanku.

"Ada apa Bang?" Bang Candra tak menjawab sepatah katapun. Namun aku dibuat terkejut ketika kakakku itu tiba-tiba memelukku. Aku merasa bingung. Sebenarnya apa yang sedang terjadi?

Aku tersentak ketika setetes air mengenai tengkukku. Aku menduga bahwa kakakku ini sedang menangis. Semakin lama, isakan kecil di bibirnya aku dengar. Aku membiarkan kakakku melepas segalanya sampai nanti dia akan berkata. Tanganku terangkat dan mengelus punggung lebarnya.

"Killa, Bang Candra gak tahu bagaimana harus mengatakan semua ini. Tapi kamu harus tahu," ujarnya lirih membuat hatiku ikut merasa teriris.

"Me-memangnya ada apa Bang? Kenapa aku jadi ikut khawatir begini? Aku takut Bang." Aku ikut terisak di dekapan kakakku.

Bang Candra mengambil napas dalam-dalam. Bibirnya pun kelu untuk mengatakan apa yang sedang terjadi.

"Elang, di-dia sudah tidak ada."

Getaran ini semakin bergemuruh. Apa yang sedang kakakku ini katakan masih ku cerna baik-baik. Namun perasaan takut ini semakin menjalar di seluruh pikiranku.

"Pesawat tujuan Amerika yang dia tumpangi terbakar di udara." Kakakku menjelaskannya lagi.

Sekarang aku paham. Aku memejamkan mata sesaat. Mencoba mencari celah untuk memasukkan udara ke dalam dada. Sesak. Itu yang sekarang aku rasakan.

Bahkan bibirku sudah terkatup rapat. Pandanganku mengabur. Aku menunggu air mata ini luruh. Tapi tak bisa. Aku mengangkat tanganku mencoba merasakan air yang membendung itu. Tapi tidak ada. Aku masih terdiam. Tapi tubuh ini seolah-olah tidak bertulang.

"La!" Aku masih bisa mendengar itu, tapi seakan jiwa ku mengambang.

Bang Candra menepuk lembut punggungku. "Nangis aja La! Abang tahu, ini pasti berat buat kamu. Jangan disimpan sendiri kesedihan ini. Abang juga merasa kehilangan."

Mendengar tutur lembur itu, kini air menyesakkan itu keluar. Aku menangis.

Elang! Bahkan aku belum sempat bertemu denganmu semenjak aku masuk SMA.

Dia, sahabat kecilku. Kini sudah tiada. Elang Rael Tristanio, Dia sudah tinggal nama. Otakku memutar kenangan beberapa tahun silam. Di mana aku mengakui bahwa dia adalah cinta pertamaku setelah Papa. Orang yang pertama kali mengenalkanku pada cinta sekaligus luka.

PROSPECT HEART (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang