Malam itu, sepulang dari Lapangan Gelora, hanya ada Bagas disampingku. Dia sibuk memainkan rambutku. Yang terkadang, membuatku merasa semakin pusing. Katanya, dia sedang berusaha membuatku nyaman. Mencoba mengurangi segala beban pikiran. Tapi, malah membuatku ingin berteriak kencang.
Aku terus menatap jalanan malam. Hingga tenggelam dalam kenangan. Aku tidak tahu, mengapa lagu "Tentang Aku, Kau, dan Dia" terus terdengar. Aku melirik kearah Bagas yang fokus menyetir mobilnya. Aku menatap tangan kirinya yang memainkan jari-jariku.
"Gas?" panggilku.
Dia menoleh, "Apa?"
"Kamu kok bisa langsung deket gitu sih sama aku? Jarang banget soalnya, orang yang baru kenal langsung bisa seakrab ini. Kamu selalu ada, bahkan hampir tiap hari kita ketemuan. Emangnya, kamu gak ada pikiran apapun gitu tentang aku? Seperti berprasangka buruk."
"Kurang kerjaan banget gue, berprasangka buruk sama lo. Emang ada ya, orang jahat yang tiap hari kerjaannya melow? " jawab Bagas dengan senyum tipisnya.
Merasa tersindir, aku menatapnya garang. Dia hanya menyengir dengan deretan gigi putihnya yang membuat kadar ketampanannya meningkat. Harus ku akui, Bagas tidak kalah tampan dengan Kak Aska. Tapi, rasa tak pernah salah mencari tempatnya. Bagas datang ditakdirkan untuk menjadi seorang sahabat, tempatku mencari sandaran ketika sedang merasa lelah dengan harapan, dan seseorang terdekatku selain saudara yang akan menguatkanku dari segala kerapuhan.
"Iya, aku ngerti. Aku udah dilahirkan untuk jadi salah satu orang yang berada di barisan galau people. " Aku merendah, karena malas menghadapi perdebatan selanjutnya. Aku memilih membuka kaca mobil dan membiarkan angin menerpa wajahku.
"HEH! Jangan dibuka. Lo mau gue kena flu gara-gara gak kuat nahan dingin?" Bagas berusaha menutup kaca sampingku.
Aku tertawa sekaligus merasa bersalah. "Maaf deh! Kan aku gak tau. Tadinya cuma mau cari angin."
Aku bisa melihat wajah muramnya. "Ya udah! Keluar aja sana kalau mau cari angin." Dia mendengus kesal setelah mengucap kalimat itu.
"Oh, jadi niatnya ngusir nih? Yaudah turunin aku disini aja." ucapku yang membuat matanya melotot kearahku.
"Enak aja! Gue udah nyariin lo kemana-mana ya. Terus buat apa gue nurunin lo disini? Ntar malah Abang lo yang songong itu gebukin gue lagi. Ogah banget." Aku hanya tertawa mendengar ocehan yang keluar dari mulut Bagas. Bisa dibayangin, punya sahabat yang konyolnya minta ampun. Tapi kalau sudah perhatian, bikin makin sayang.
"Hm, Gas? Yang tadi gimana jawabannya?"
"Yang mana?"
"Yang tadi itu." Aku kesal dengannya.
"Yang mana sih? Gue lupa." jawabnya.
Aku terdiam sejenak dan mengulangi pertanyaan awalku. "Kenapa kamu mudah banget akrab sama aku? Bahkan kita udah kaya' adik kakak tau. Kemana-mana bareng."
Dia tersenyum senang. "Bagus dong kalo udah kaya' sodara. Itu berarti kedekatan kita udah banget-banget."
"Ish, kok gitu sih jawabannya."
"Killa. Udah berapa kali sih? Lo nanya kaya' gitu? Gue aja sampe capek ngejawab. Yang namanya nyaman itu susah nge-carinya. Dan sekarang gue udah nemuin itu. Jadi buat apa gue biarin kenyamanan itu sia-sia? Gue kaya' gini juga punya alasan. Sama seperti lo. Dulu gue juga pernah punya sahabat. Dia cewek. Tapi, ketika dia udah punya pacar, gue gak lagi dibutuhin atau dia gak pernah mau bantuin gue lagi."
KAMU SEDANG MEMBACA
PROSPECT HEART (End)
Novela JuvenilHanya untaian kalimat untuk rasa yang tak sampai, untuk harap yang tak terungkap, dan kisah yang tak pernah singgah. Cerita ini ditulis, untuk kamu yang sangat jauh dariku. Berharap mampu menyampaikan perasaan yang pernah ada untukmu. Rasakan dan r...