ll Epilog

81 8 0
                                    

Hari ini sudah hampir yang ke-sepuluh sejak acara wisuda itu. Aku mengisi liburan dengan hal-hal yang menurutku penting. Kalau ditanya tentang jalan-jalan, selama satu minggu ini aku hanya di rumah. Menghabiskan waktu bersama Bang Candra bersama Mama dan Papa.

Sudah sepuluh hari ini pula, Kak Aska tidak ada kabar. Dia menghilang sejak pertemuan terakhir itu pula. Mungkin, dia sedang mengurus pendidikan barunya. 

Semalaman, entah mengapa aku sangat merindukannya. Memori ketika aku masih bersamanya, membuatku ingin sekali bertemu dengannya. Sampai saat inipun, aku masih mengaguminya dari jauh. Entahlah, aku tidak tahu mengapa perasaanku masih saja sama. Padahal, aku sudah tidak bertemu lagi dengan dia.

Melihat waktu masih menunjukan pukul 10.00 pagi, aku menuju ke balkon kamar. Menghangatkan diri, sekaligus menunggu kabar dari manager penerbitan novelku. Ternyata, semua usaha tak sia-sia. Hari ini, buku pertamaku sudah terbit dan aku diminta untuk meeting bersama. Aku masih saja gugup berbaur dengan orang-orang dewasa seperti mereka. Aku tetaplah jadi remaja 17 tahun yang masih belum berpengalaman dalam dunia kerja.

Aku merentangkan tanganku dan menutup mata seolah udara segar menghembuskan kebahagiaan di pagi ini. Ketika pandanganku jatuh ke seseorang di bawah sana, aku segera berteriak lantang memanggilnya.

"BAGAS!"

Seorang laki-laki yang tengah memakai kemeja biru dengan celana jeans hitam itu membuatku ingin segera menemuinya. Bagas tersenyum ketika mendongakkan kepala melihatku. Setelah menutup pintu mobilnya, dia melambaikan tangan.

"Gue masuk dulu," ucapnya yang membuatku mengangguk.

Aku segera masuk ke dalam kamar. Memperbaiki penampilan dan mengambil tas kecil berwarna biru kesukaanku.

Semalam aku sudah membuat janji dengan Bagas untuk berangkat ke kantor bersama. Bagaimanapun juga, aku butuh teman di tengah orang-orang berpengalaman. Kalau ditanya kenapa tidak dengan Lea, tak perlu ku jawab panjang-panjang. Dia sedang liburan bersama Bang Candra.

Aku turun dari tangga, mendapati Bagas tengah berbincang dengan Mama dan Papa. Bagas terlihat begitu rapi hari ini. Kemeja birunya dia gulung sampai siku. Dan seperti biasa ketika kami bertemu, dia hanya memakai sepatu hitam bergaris putih.

"Hay," sapanya ketika melihatku.

Aku hanya tersenyum tipis menanggapi. "Pa, Ma! Killa berangkat dulu ya sama Bagas," pamitku pada kedua orang tuaku.

"Iya, tadi Bagas udah bilang sama Mama. Hati-hati di jalan." ujar Mamaku.

"Bagas, jaga anak Om ya! Dia masih rada manja." ujar Papa membuatku melotot.

"Iya Om. Siap! Pasti saya jagain Killa. Ntar kalo nangis, dibeliin permen udah diam." kata Bagas meledekku.

Aku semakin tersungut melihat mereka menertawaiku. "Killa bukan anak kecil. Udah ah, ayo jadi berangkat gak nih?"

"Iya-iya. Tuh Om, digituin aja dia udah marah." ucap Bagas.

"Bisa diam gak sih." ujarku kesal.

Akhirnya Bagas pamit dan menyalimi kedua orang tuaku. Aku pun juga mengikuti Bagas. Setelah Bagas lebih dulu keluar, Mama membisikkan sesuatu yang membuatku termenung.

"Killa, Bagas anak baik loh. Gak papa kok kamu pacaran sama dia."

Aku hanya diam, tersenyum tipis dan berusaha tidak memikirkan apa yang baru saja Mamaku katakan. Aku tidak akan menyukai sahabat sendiri lagi. Aku sudah menganggap Bagas seperti saudaraku. Aku tidak ingin kecewa karena jatuh cinta pada seseorang yang statusnya sama. Sebagai sahabat.

PROSPECT HEART (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang