Jam 07.00 tinggal beberapa detik lagi. Langkahku yang tergesa-gesa membuat beberapa adik kelas tak sengaja ku tabrak. Tidak seperti biasanya, tadi aku bangun kesiangan. Semalam aku tak bisa tidur. Tugas akhir semester satu, membuatku harus begadang setiap malam.
Beberapa meter lagi, aku sudah sampai dikelasku. Tapi langkahku seolah melambat. Aku tetap berlari. Bahuku terguncang hebat, kala aku menabrak seseorang. Aku masih enggan menoleh, yang ku tatap hanya pintu kelasku.
"Maaf, Dek."
"Eh, Maaf kak,"
Aku dan orang itu mengucap kata maaf bersamaan. Lantas kami berdua bersitatap.
"Kak Aska," lirihku.
Dia hanya menatapku. Tatapan mata itu begitu hangat, setelah sekian lama aku tak melihat.
"Eh, kamu Killa."
"Hehe, iya kak. Maaf Kak tadi aku keburu-buru." Aku menjawab sembari menyengir, entahlah rasaku memang masih sama. Masih menyukai, menyayangi, bahkan mencintai.
"Ehm, ya sudah kakak pergi dulu ya. Belajar yang bener."
Aku mendadak cengo. Bukan mimpi 'kan ini? Mataku mengerjap berkali-kali. Kak Aska beneran yang mengucap itu? Yang ngacak rambutku?
Aku memegang kepalaku. Semuanya seperti mimpi. Ingin ku hentikan waktu, tapi tak mampu. Ku lihat punggung Kak Aska mulai menghilang. Tapi sentuhan dan suaranya tadi masih berkelana dalam diriku.
Aku tersadar ketika bel berbunyi. Aku langsung berlari memasuki kelas. "Hftt.. Lea, aku gak telat 'kan?"
Bodoh. Jelas hampir telat masuklah! Kelasku memang konyol. Karena kejadian beberapa bulan yang lalu, kini kelasku mengadakan peraturan. Yang terlambat satu menit setelah bel berbunyi, maka akan diberi hukuman oleh siswa sekelas. Dulu kelasku mendapat cap terburuk dari semua guru. Alasannya cuma ketika guru masuk, setiap hari pasti hampir ada sepuluh siswa yang belum ada dikelas. Itu yang membuat kami sekelas bersikukuh membuat peraturan itu.
"Enggak kok. Sans Cepetan masuk!" Aku segera duduk di bangkuku.
Sepanjang pelajaran hari ini, konsentrasi ku buyar. Wajah Kak Aska masih terbayang-bayang. Ingin sekali aku menemuinya, tapi niatku terurung ketika melihat Kak Aska sudah memakai jersey nomor punggung tujuh.
"Lea! Hari ini ada pertandingan ya?" Tanyaku pada Lea yang masih mengemas bukunya.
"Ya ampun Killa! Dari kemarin kemana aja sih? hari ini tuh, SMA kita mau tanding sepak bola sama SMA sebelah."
Aku mengerutkan kening. "Terus Kak Aska ngapain pake' jersey?"
Lea mendekatiku, menepuk bahu dengan sedikit keras. "Jadi selama ini, kamu gak tahu? Kalo Kak Aska itu pernah jadi kapten sepak bola setahunan kalo gak salah."
Aku menganga tak percaya. Hebat sekali dia. Kapten sepak bola, ketua badminton, belum lagi juara kelas. Aku tersenyum sendiri mengingatnya. Andai saja, aku bisa bersamanya. Pasti masa depanku akan semakin cerah.
"Gimana kalo kita nonton?!" Aku mengajak Lea menonton pertandingan hari ini. Jangan tanyakan alasanku apa. Pasti yang terutama melihat Kak Aska.
Lea mencibir ke arahku, kemudian menarik tanganku. "Bilang aja mau lihat doi."
Aku hanya tertawa. Benar saja semua dugaannya.
***
Disinilah aku sekarang. Duduk ditangga penonton paling depan. Membawa sebotol air mineral lengkap dengan handuk kecil berwarna biru. Aku terkesan seperti menunggu pacar yang sedang bertanding. Tapi apapun hubunganku, aku tetap akan memberi dua benda itu pada Kak Aska nanti setelah pertandingan berakhir.
KAMU SEDANG MEMBACA
PROSPECT HEART (End)
Teen FictionHanya untaian kalimat untuk rasa yang tak sampai, untuk harap yang tak terungkap, dan kisah yang tak pernah singgah. Cerita ini ditulis, untuk kamu yang sangat jauh dariku. Berharap mampu menyampaikan perasaan yang pernah ada untukmu. Rasakan dan r...