Aku turun dari taksi dengan tergesa-gesa. Ditengah lapangan Gelora, Kak Aska sudah berdiri menungguku. Diantara lampu-lampu lapangan yang mulai dinyalakan, aku bisa melihatnya memakai jersey nomor punggung tujuh berwarna putih.
Aku merasa tak enak hati. Karena kelalaianku tadi, aku jadi telat menemui Kak Aska sesuai janji. Aku segera berlari dan meneriakkan nama Kak Aska berkali-kali. Saat aku berlari kearahnya, dia terlihat tertawa dan meneriakan sesuatu. Saat jarak kami mulai dekat, aku baru tahu dia sedang bersuara seakan-akan seperti komentator sepak bola.
"Ya, Bung, Killa berlari kearah Aska nomor punggung 7 dengan kecepatan super kilat. Namun sayangnya, Killa tidak mempunyai nomor punggung. Dengan penuh peluh, Killa mulai berlari karena sepertinya dia datang tidak sesuai janji, Bung dan lihat, Killa mulai mendekat dengan senyum malu-malu. Dan kini Killa berhasil tepat digaris didep-"
Karena kesal, aku membekap tangan Kak Aska. Ingin sekali aku tertawa melihat ekspresinya kali ini. "Eh maaf, Kak. Refleks hehe,"
Kak Aska tertawa gemas. Sambil mengacak-acak rambutku. Seketika aku tersadar, apa seperti ini kah sifat Kak Aska dibalik pendiamnya?
"Ternyata kakak bisa buat selera humor juga ya?"
Kak Aska menatapku dengan satu alis yang terangkat. Dan setiap ekspresi yang dia berikan, aku selalu dibuatnya terpana.
"Saya juga manusia seperti yang ada didunia ini. Dan setiap manusia itu sebenarnya punya beberapa sifat yang sama. Hanya saja mereka ditutupi oleh sifat asli yang nampak disemua mata orang yang melihatnya." Kak Aska menjelaskan itu sambil melangkahkan kaki menuju pinggiran lapangan. Aku hanya mengikutinya dari belakang.
"Killa!"
Aku memandang tubuhnya yang masih membelakangiku. "Hm?"
"Saya bukan tuan kamu. Kenapa kamu harus berjalan dibelakang saya?" Nada suara yang terdengar terkesan datar. Tapi ketika aku mendengarnya, malah terkesan manis.
"Maaf, Kak. Habisnya aku masih lelah lari tadi," ujarku padanya.
Aku yang berjalan menunduk, berhenti secara tiba-tiba ketika Kak Aska dengan mendadaknya berhenti didepanku. Tak sengaja dahiku membentur punggungnya. Pipiku memanas menyadari hal itu.
"Ck, kamu itu bilangnya lelah, tapi otaknya juga ikut ngelantur." Kak Aska berdecak dan aku hanya tertawa. Kak Aska begitu berbeda dengan pertama kali aku mengenalnya. Saat ini setiap sikapnya yang belum nampak disemua mata orang, sudah dia perlihatkan kepadaku.
"Maaf, Kak." Aku mengerucutkan bibirku.
Kini Kak Aska menoleh dan menatapku. Karena tinggiku hanya semampai dadanya, Kak Aska terlihat seperti menunduk.
"Kamu minta maaf yang ketiga kalinya, saya kasih satu piring cantik," ucapnya lalu dilanjutkan dengan tawa.
Aku menatap tawa itu tanpa berniat mengalihkan pandanganku. Aku jatuh cinta disetiap detik terindah kami. Aku merasa Kak Aska kini tinggal satu langkah dariku. Tidak seperti dulu, yang terasa harus menyelam ribuan kilometer.
Tidak terasa, aku dan dia sudah sampai dikursi pinggir lapangan. Kami duduk dikursi panjang. Aku membuka tasku dan mengambik sebotol air mineral. "Ini, Kak. Minum dulu," kataku sambil menyodorkan minuman itu.
"Makasih. Kok kamu tahu saya sedang haus." Aku terkekeh mendengar kalimat konyol itu. Bagaimana aku tak tahu, Kak Aska baru saja berlatih sepak bola bahkan peluhnya masih tersisa didahinya.
"Kak Aska 'kan baru latihan. Ya pasti hauslah," jawabku.
"Maaf ya. Tadi pengumuman latihannya mendadak banget. Jadi saya batalin buat pertemuan kita di cafe deket taman kota. Tadinya saya juga mau batalin aja sekalian janjinya. Takutnya kamu lagi sibuk," ucap Kak Aska yang memandangi sepatunya.
KAMU SEDANG MEMBACA
PROSPECT HEART (End)
TienerfictieHanya untaian kalimat untuk rasa yang tak sampai, untuk harap yang tak terungkap, dan kisah yang tak pernah singgah. Cerita ini ditulis, untuk kamu yang sangat jauh dariku. Berharap mampu menyampaikan perasaan yang pernah ada untukmu. Rasakan dan r...