"Emosi, kata yang paling sering muncul dari gue setiap kali ngeliat dia."
-Yudha
•-•
Dua menit berlalu, tatapan miring masih Yudha berikan pada Ivy. Merasa tak nyaman diperhatikan begitu, ia melempar baju ganti ke arah Yudha. Lalu menyibukkan diri dengan membersihkan sampah makanan yang masih tergeletak di meja kecil dekat ranjang pasien.
Yudha terhenyak. Kedua tangannya terkepal. Ia masih cukup sabar sampai detik ini. Maniknya melirik sekilas pada Ivy-yang sibuk memasukkan sampah kulit buah pada plastik-sebelum memungut kasar baju yang tergeletak di pangkuannya.
"Gak sopan banget sih, lo," gerutu Yudha sembari turun dari kasur lalu berjalan menuju kamar mandi.
Sebelah alis Ivy menukik mendengar gerutuan dari Yudha. Diliriknya sekilas tubuh berbalut baju pasien itu. Ia lantas membatin, Minta dihargai, tapi gak mau menghargai orang.
Kakinya berjalan beberapa langkah lalu duduk di sofa panjang. Dipencetnya remot ke arah layar TV, mengganti channel secara acak. Tak ada yang bagus. Ivy memang sedang tidak ingin nonton, hanya saja kamar ini terasa sangat sepi.
Ada banyak hal yang memenuhi pikirannya. Termasuk perbincangan di kantin rumah sakit pagi tadi.
"Ini kamu baca baik-baik kalau sudah di rumah. Dan ini, tolong kamu suruh Yudha untuk mengganti baju dan memakan bubur lalu meminum obatnnya."
Ivy yang tengah lahap menyantap bubur ayam terpaksa berhenti menyuapkan sendok. Tangan kanannya menerima sebuah amplop. Dilihatnya sekilas, lalu menerima paper bag yang berisi barang milik Yudha.
"Nah, ini uang milikmu yang kamu gunakan untuk membayar biaya rumah sakit semalam. Terima kasih ya, Nak. Dan ini ada pakaian ganti, semoga pas. Oke saya titip Yudha, nanti pasti saya kembali," jelas Tuan Prayata cepat sambil memberikan amplop dan paper bag untuk Ivy lalu bergegas pergi setelahnya.
Ivy menghela napas lelah. Sungguh ia sangat penasaran dengan amplop itu. Namun lebih baik bersabar sedikit, membacanya di rumah sesuai dengan pesan yang Tuan Prayata berikan.
Tangan Ivy memijat pelan tengkuknya yang pegal. Bukan cuma leher, tapi seluruh tubuhnya juga letih. Mengingat sejak sampai di Jakarta, ia belum sempat merebahkan tubuh barang sejam.
Empuknya benda ini mengundang kelopak Ivy terpejam. Tangan kanannya meraba ke samping mencari bantal sofa untuk dipeluk. Beluk sempat merebahkan punggung, suara bariton lebih dulu menginterupsi pergerakannya.
"Ngapain lo masih di sini?" Kedua tangan Yudha sibuk menggosok handuk pada rambutnya.
Tarikan napas pertama. Ivy membenarkan posisi duduk. Melirik ke arah Yudha yang jelas menunjukkkan kekesalan lewat nada bicaranya barusan.
"Tuh, makan bubur lo. Habis itu diminum obatnya," titah Ivy menunjuk nampan yang sudah komplit dengan mangkuk, air, dan obat yang harus Yudha habiskan.
Kaki dengan celana training hitam itu mendekat ke arah Ivy. Ia meraih remot, lalu mematikan TV. Tangannya kembali menggosok rambut sambil melempar tatapan sekilas.
"Kalo, ada orang nanya tuh jawab dulu," protes Yudha. Ia berjalan ke meja, menyambangi semangkuk bubur yang dibawa Ivy untuknya.
"Bukan urusan lo."
Yudha mengurungkan niat untuk meraih mangkuk. Emosinya kembali meluap mendengar jawaban itu. Ia berbalik badan, memandang geram pada punggung mungil yang berdiri di dekat pintu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Forget Me Not
RomanceDulu sekali Fandi ditinggal gadis tercintanya karena sebuah hutang. Ketika dewasa dia ditinggal menikah oleh calon istrinya-perempuan yang sama-karena sebuah kecelakaan. Sialnya, kali ini dia tak berdaya saat si keparat Yudha mempersunting wanitanya...