FMN - 14. My Heroes

160 31 0
                                    

“Tuhan tau kapan waktu yang tepat untuk memberikan pertolongan-Nya.”
•-•

‍Dengan paksa Ivy ditarik masuk ke dalam mobil putih. Ia menggeleng kuat berusaha melepas kain hitam yang membungkus kepala. Meronta-ronta berharap tali yang melilit tangannya bisa lepas.

Ia panik, sangat panik. Rasanya semua usaha untuk melepaskan diri sia-sia, bahkan untuk sekedar teriak saja ia tak bisa. Kain yang menyumpal mulutnya terasa begitu penuh. Tak ada yang bisa gadis itu lakukan.

Ia meringis saat tiba tiba sebuah benda tajam menyayat tangan kanannya. Air mata luruh membasahi pipi tanpa ada isak tangis. Perih sekali.

Entah ke mana mobil putih ini bergerak membawanya. Jika memang ia benar diculik, untuk apa. Ivy bukan anak orang penting yang bisa diperas uangnya, dia bahkan baru dua bulan berada di sini.

Lima menit berada dalam mobil, benda itu kini sudah berhenti. Baiklah, Ivy sudah siap dengan apa pun yang akan terjadi padanya setelah ini. Kain di mulut dibuang disusul tarikan kasar yang memaksa Ivy untuk turun dari mobil.

“Lepasin, gue! Siapa lo? lepasin! Tolong ... tolong ...” jeritnya kencang berharap ada orang yang bisa mendengar.

Ivy terus berontak, berusaha melepaskan tali dan penutup kepala. Tangan seseorang menyeret Ivy kasar. Tiba-tiba dorongan kuat di punggung membuat tubuh gadis itu tersungkur ke tanah.

“Ish ... siapa lo! Lepasin gue, gue gak punya salah sama lo!!
Tolongv... siapa pun tolong.”

Suara tawa familiar terdengar lantang di telinganya. Apa Renata yang melakukan ini semua ke aku?

“Kenal gue? Masih inget gue siapa?" Seringai licik ia tunjukan setelah menarik paksa kain dan hijab yang Ivy kenakan.

Renata mengitari Ivy yang masih berlutut di tanah. “Wajah lo menyedihkan banget.”

“Gimana? sakit? Itu belum seberapa. BTW, lo masih deket kan sama Agian?” Sunyi. Hanya suara deru angin sore yang melintas.

“Berani ya, lo nyuekin gue!”

“Lo tuli atau bisu, sih? Dari tadi lo diem aja, huh! Jawab jalang!”

Renata yang diliputi kemarahan langsung menarik rambut panjang Ivy sekuat tenaga, membuat sang empunya rambut menengadahkan wajah ke langit sambil meringis kesakitan.

“Lepasin gue! Lo mau apa lagi, huh!” Ivy  teriak. Gadis itu tak tahan diperlakukan seperti ini. Ia tak boleh lemah.

“Oh ... lo berani ngebentak gue, ya?” Seringai muncul di wajah Renata disusul tangannya yang menekan pipi Ivy kuat-kuat.

B*TCH! Sekali lagi gue liat lo deket sama Again. Gue pastikan di mana pun tempatnya, lo akan merasa seperti berada di neraka. Camkan ini!” Renata menghempaskan kasar wajah Ivy.

“Udah selesai ngomongnya. Asal lo tau Renata, gue gak pernah deketin Agian sama sekali, lo buta atau apa? Jelas-jelas kalo tadi gue gak deket sama dia,” ucap sinis Ivy tanpa menatap Renata.

PLAK

Tamparan kuat mendarat di pipi Ivy. Tidak cukup hanya dengan menamparnya, Renata kembali menjambak rambut Ivy.

“Sil, bawa sini botol air asin tadi.” Silvi berlari mengambil botol yang dimaksud lalu memberikannya pada renata.

“Ish ... perih ....”

Air mata mengalir dari sudut mata. Ivy meringis menahan rasa sakit yang luar biasa saat csiran dalam botol tadi disiram pada luka di tangan kanannya. Melihat ketidak berdayaan Ivy, Renata tersenyum penuh kemenangan.

Forget Me NotTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang