FMN - 29. Rival

98 22 0
                                    

"Ini gak benar. Gak seharusnya kita bertemu lagi."

•-•

‍‍‍-Pukul 17.46 WIB

Ivy berjalan keluar gedung tempat dia bekerja. Bola matanya berkeliling mencari mobil seseorang. Ia melangkah menuju pos satpam, lalu duduk di salah satu bangku yang tersedia.

"Ivy!"

Sura bariton yang sangat familiar, membuat Ivy mengalihkan pandangan dari layar ponsel. Gadis itu berdiri, matanya melebar terkejut. Yudha dengan setelan kantor menghampiri dirinya dari arah parkiran.

Untuk apa dia ke sini?

"Ivy tolong jangan pergi dulu. Aku hanya ingin bicara padamu, tolong jangan menghindar lagi."

"Aku ... aku gak bisa ketemu kamu lagi. Maaf," ujarnya sedikit terbata. Gadis itu berusaha sekuat mungkin menahan sesak yang menjalar di dadanya. Menahan untuk tidak menangis di depan Yudha.

"Tapi kenapa? Karena kejadian kemarin? Aku gak masalah untuk minta maaf pada dokter itu."

Yudha kembali memohon pada Ivy. Raut kecewa tercetak jelas di wajahnya. Pria itu kecewa karena lagi-lagi pembatas antara dia dan Ivy berdiri kokoh. Seakan-akan kejadian masa silam kembali terulang.

Gadis berhijab pink itu menggeleng. "Ini gak benar. Gak seharusnya kita bertemu lagi."

Dahi Yudha melipat mendengar kata-kata Ivy. Ia termenung memikirkannya. Sampai suara klakson mobil menarik Yudha kembali ke dunia nyata. Dia bergerak cepat menyahut tangan Ivy, mencegah gadis itu masuk ke mobil.

"Ivy aku hanya ingin bicara sebentar saja."

"Lepaskan aku!"

Perlahan. Yudha mengendurkan cengkramannya melihat Ivy menagis. Rasa sakit. Hanya itu yang terbaca jelas di manik hitam Ivy. Yudha masih mematung hingga mobil yang ditumpangi Ivy melesat pergi.

"Ivy, kenpa menangis? Apa yang dilakukan bajingan itu?" serang Agian.

Pria itu melirik dari cermin mobil, tak ada isak dari bibir Ivy hanya cairan bening yang terus merembes di pipi tembamnya. Fiona yang berada di samping Agian menyodorkan selembar tisu pada Ivy.

"Terima kasih," tukas Ivy menerima tisu. Fiona mengangguk dan tersenyum manis.

"Ah, maaf aku merusak suasana karena menangis," kekehan kecil Ivy lontarkan. Model itu pun ikut terkekeh kecil.

"Tidak sama sekali. Oh ya, aku Fiona Ruest. Kamu pasti Halivyna Vidyaratty, kan?" Model itu menolehkan kepalanya ke kursi penumpang. Ivy tersenyum seraya mengangguk.

"Aku juga dengar kalau kamu dokter muda lulusan Universitas terbaik Amerika kan? Wah... kamu pinter banget. Jujur aku iri. Kamu tau Ivy, orang tuaku selalu mendesakku menjadi seorang dokter. Tapi, aku tak sepandai kamu, pas SMA nilai biologiku juga pas-pasan, terus aku juga gak tertarik di bidang kesehatan."

Fiona bercerita dengan raut sebal. Model cantik itu kini melepas high hillnya. Duduk bersila menghadap ke belakang dengan tangan yang memeluk sandaran kepala kursi, ll demi bisa melihat Ivy saat mereka berbincang. Sepanjang perjalanan Agian hanya fokus menyetir, sesekali dia tersenyum melihat kedekatan Ivy dengan Fiona.

"Baiklah nona-nona. Kita sudah sampai."

Pukul 23. 47 WIB
Kamar berdominasi abu-abu masih saja terang. Layar televisipun masih menyala menayangkan acara malam. Deru angin dengan bebasnya keluar masuk kamar tersebut.

Forget Me NotTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang