FMN - 18. Masih Ragu

146 23 0
                                    

‍‍‍‍‍‍‍“Sebaik apapun seseorang, di mata orang yang membenci tidak ada ruang untuk kata baik
•-•

Bita terdiam sejenak menatap langit-langit lalu berujar, ‍‍‍‍“Kita harus cari tau siapa pelakunya dan kita bales perbuatannya.”

Ivy menggeleng keci. “Kita udah sering gagal menemukan pelakunya. Kalau pun berhasil gue gak mau bales dendam. Gak baik, Ta. Biar Allah aja yang bales.”

Bita mendelik menggeleng kuat. “Tapi orang itu udah keterlaluan, Vy. Bukan cuma telur busuk di meja dan bangku.” Bita berhenti sejenak lalu melanjutkan kalimatnya lagi.

“Semua kejadian yang lo alami di kantin bukan kebetulan, tapi itu semua pasti ada yang ngerencanain. Gak mungkinlah setiap hari ada orang yang nabrak lo, terus makanan dan minuman yang mereka bawa pasti tumpah di seragam lo.” Bita terdiam sejenak, memikirkan kalimat yang tepat untuk selanjutnya ia ucapkan.

“Ya gue tau mereka bukan orang yang sama, tapi kenapa harus lo yang ditabrak? Kenapa bukan gue? Itu semua janggal, Vy.”

Bita menarik napas sejenak menatap Ivy yang masih setia mendengarkan penjelasannya.

“Gue rasa semua ini ulahnya Renata, gak akan ada yang bisa berbuat selicik itu selain dia. Baju olahraga lo yang disimpen di loker tiba-tiba kotor karena telor busuk, akibatnya lo gak ikut jamnya pak Didin. Kejadian sepatu lo ilang pas di musholah, jadilah lo gak sepatuan sampe pulang dan ternyata ada di pos satpam.

Padahal gue sama lo udah nyari keseluruh pojokan sekolah pun gak ketemu. Terus, kejadian di perpus saat lo lagi milih buku. Tiba-tiba sederet buku di deket tempat lo berdiri jatuh berserakan begitu aja, akibatnya lo harus beresin buku itu sampe telat masuk kelas.”

Suasana di sekitar mereka sunyi. Ivy diam memandang lantai. Sedangkan Bita berusaha menenangkan dirinya sendiri yang mulai terbawa emosi.

“Belum lagi tas pink lo saat kita selesai olahraga raib gitu aja dan ternyata ada di kelas XI IPA 3. Untung pas itu ada kakel yang mau balikin tas lo. Pas itu kita udah pasrah dan gue nyaris nangis pas ngelihat lo nangis saat itu.”

Bita melihat ke arah Ivy yang tertunduk. Lalu kembali melanjutkan kalimatnya.

“Masih inget, pas lo lagi bantu Bu Mina bawa buku tugas temen sekelas ke ruang guru. Ada siswi yang lari nabrak lo dan pergi gitu aja ninggalin lo bersama dengan buku yang berserakan di tengah lapangan basket.

Dan yang paling gue benci saat lo sempet dimaki ama siswi seantero SMA ini karena poster yang orang itu tempel di mading. Gue benci baca tulisannya. Bitchlah, murahanlah, PHO."

Suara Bita bergetar, tak lama isakkan kecil keluar dari bibirnya. Ivy yang sejak tadi menunduk sedih, mendongak, dan melangkah mendekat untuk memeluk Bita yang masih terisak. Ivy berusaha keras agar tak menangis di saat Bita butuh seseorang untuk menghibur kesedihannya. Ah ... lebih tepatnya kesedihan dari kemalangan dirinya sendiri.

“Udah Bita jangan nangis dong, aku gapapa kok,” tukas Ivy meyakinkan Bita.

“Tapi gue gak baik-baik aja, Vy, ngeliat orang yang gue sayang diperlakukan buruk.”

Bita melepas pelukan dan menghapus air matanya. Semua kalimat Bita tadi, mengundang seulas senyum di bibir Ivy.

“Yaudah ayo balik ke kelas, lima menit lagi masuk,” ajak Ivy sambil membawa peralatan kebersihan di tangan lalu berjalan ke luar disusul Bita di belakangnya.

“Bita lo abis nangis, ya? Apa gara-gara gue ngatain lo kayak NENEK LAMPIR,” goda Evan disambung gelak tawa saat melihat Bita masuk kelas dengan mata sembab dan hidung merah.

Forget Me NotTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang