Prolog

3.2K 97 27
                                    

Ini kisahku. Kisah di mana aku memulai segalanya. Semuanya tanpa terkecuali. Dari lulusan Sekolah Dasar langsung terpenjara di sebuah tempat terhoror selama sisa hidupku. Sepertinya.

"Dek Salim!" panggil seseorang. Aku menoleh, memperhatikan siapa yang berlari kecil menghampiriku.

"Sambangan!" ucapnya ngos-ngosan.

"Ibu sama ayah ke sini, Mbak?" tanyaku memastikan.

"Iya, cepatlah!" ucap Mbak Lia. Dia adalah mbak pondok yang tidak melanjutkan sekolah.

Aku berjalan santai menuju tempat sambangan yang berada di depan ndalem.

"Assalamualaikum."

"Wa'alaikumussalam," jawab ayah dan ibu.

"Bagaimana di pondok, Mbak?" tanya ayah usai aku menyalami mereka.

"Ya seperti itu," ucapku singkat.

"Krasan ndak di pondok?

"Sitik"² ucapku di selingi cengiran.

"Sekolahnya?" tanya ibu.

"Podo wae, Buk,"³ ucapku lagi.

"Ayah sama ibu ke sini cuma mampir, soalnya tadi nggak niat ke sini," ucap ayah.

"Bar ngopo to yah?"⁴ tanyaku sedikit kepo.

"Tadi ke rumah pakdhe, sekalian mampir ke sini," jelas ayah.

"Ooh." Aku mengangguk mengerti.

"Ya sudah, ibu sama ayah langsung pulang. Ini ibu kasih tambahan uang buat jajan." Ibu mengulurkan uang berwarna hijau. Aku hendak menerimanya, namun tiba-tiba tanganku ditabok.

"Aawwww!!"

"Bangun, Dek! Kamu belum sholat shubuh!" Seseorang menaboki seluruh tubuhku. Ya, aku sangat bandel saat bangun shubuh. Dan seperti biasa aku langganan dalam hal takziran sholat shubuh.

"Mbak, aku masih ngantuk!" protesku. Menggeliat ke sana dan ke mari, namun tidak bangun-bangun. Akhirnya tanganku ditarik dan tubuhku mau tak mau telah dalam posisi duduk.

"Mbak, apaan sih, tadi aku lagi mimpi dikasih uang ibu!" kesalku. Kubuang bantal yang ada di dekatku.

"Kalau mau jadi kenyataan, kamu harus bangun! Tuh, liat, yang lain sudah siap ngaji!" Mbak Alif menarik-narik tanganku agar segera berdiri.

"Aku mandi sekalian, ya," ucapku sembari menguap lebar dan merentangkan tanganku tinggi-tinggi.

"Sholat dulu!" Mbak Alif menabok bokongku.

"Iya-iya!" Aku berjalan gontai meninggalkan kasur lantai, selimut, dan bantal yang berantakan. Toh nanti saat aku kembali sudah tertata rapi. Siapa lagi yang menatanya kalau bukan Mbak Alif?

Aku bersimpangan dengan banyak orang saat ke kamar mandi, karena memang pondok ini terbilang baru dan tempatnya juga masih minimalis. Aku menunggu mbak-mbak yang berdesakan di dalam kamar mandi. Dan satu juga, kamar mandi ini memang luas untuk menampung orang banyak. Jadi kalau mandi bareng-bareng pakai telesan, atau kembenan. Kembenan itu sarung atau rok dipakai untuk menutupi sebagian anggota tubuh, dari dada sampai bawah. Tahu, 'kan, maksudnya?

"Kayaknya nggak jadi ngaos deh, Mbak," ucap seseorang yang lagi mandi.

"Kenapa? Abah tindakan?" tanya yang lain.

"Nggak, ada tamu dari jauh."

"Oalaah. Lumayanlah, ya, aku juga nanti berangkat sekolah sebelum jam 07.30, ada apel pagi sama anggota OSIS," ucap Mbak Nafa, temen Mbak Alif, mereka sama-sama ikut Organisasi OSIS.

"Mbakmu kemana, Sal?" tanya Mbak Nafa. Aku yang masih mengantuk memandangnya dengan mata yang sulit terjaga.

"Nggak tahu, Mbak, tadi padahal heboh bangunin aku. Terus nggak tahu," ucapku dengan menguap lebar. Ini sungguh sangat menyebalkan.

"Kayaknya Dek Alif ditimbali Abah," ucap Mbak Fitri, kakak kelas kami, dia sudah MA kelas XI.

"Ditimbali itu disuruh ngaji sendiri gitu, Mbak?" tanyaku polos sembari menyikat gigi. Semua mbak-mbak menertawakanku. Memangnya ada yang salah? Usai menyikat gigi aku mencari-cari cuci mukaku.

"Mbak, minta cimuknya dong, punyaku ketinggalan," ucapku pada Mbak Nafa.

"Ditimbali itu dipanggil Salima! Kamu ada-ada aja deh. Udah hampir dua bulan loh kamu mondok," jelas Mbak Nafa sembari menyodorkan cimuk atau cuci muka, aku nyengir karena baru paham.

"Ooh," ucapku singkat.

"Anak baru kali, ya, Mbak?" tanya Mbak Nafa pada Mbak Fitri.

"Kayaknya sih. Temenmu mungkin Dek Sal!" seru Mbak Fitri.

"Entah. Makasih, ya, Mbak. Aku mau sholat dulu," ucapku sembari berlalu.

"Kebiasaan! Nanti dapat poin banyak takzirannya lebih berat loh!" teriak Mbak Fitri selaku pengurus keamanan. Aku hanya mendengus kesal.

Saat kembali ke kamar, aku melihat tempat tidurku masih dalam keadaan yang mengenaskan. Duh, Mbak Alif nggak dirapihin dulu! Omelku dalam hati. Aku merapikannya sebentar dan segera sholat.

**<>**

Aku telah siap dengan seragamku, dan bersiap berangkat sekolah. Aku segera keluar kamar dan menemui Mbak Hida, teman seangkatanku namun beda kelas.

"Kamu kenal anak baru itu, Sal?" tanya mbak Hida.

"Nggak," ucapku singkat.

"Kayaknya posisimu bakal lengser. Hihihi," ucapnya terkikik. Aku tak mengerti apa maksud Mbak Hida, tapi perasaanku mengatakan ada hal yang janggal.

"Ayo!" semangat Mbak Hida dengan merangkul bahuku. Aku, Mbak Hida, Ayu, Mely, Fifa dan Fani berangkat bersama. Meski kami seumuran, dari kami memanggil Hida dengan sebutan Mbak. Karena memang dia adalah anak Ustadz yang mengajar di pondok kami.

Aku tadi sebelum berangkat sempat berpapasan dengan Mbak Alif, dia hanya tersenyum dan menyalamiku seperti biasa, yang kulakukan mencium punggung tangannya. Dan hari ini dia tidak berangkat sekolah karena Abah memintanya untuk melakukan sesuatu. Entah itu apa.

"Mbak Alif sayang Adek." Kata-kata itu terus terngiang di telingaku. Mbak Alif mengatakannya saat aku tidur, meski sebenarnya tidak tidur.

Untuk saat ini ada sedikit kecemasan di hatiku. Tapi aku mencoba menepisnya.

**<>**

¹Betah nggak di pondok?

²Sedikit

³sama saja buk

⁴habis ngapain sih yah?

**<>**


#Listya12

Hai Readers! Author bawa Story baru nih!

Dengan rasa yang berbeda ya. Yang juga kehidupan ala pesantren gitu. Haha.

Semoga berkesan!

Jangan lupa Vote and Coment yaa!😘😍

Takdir Tersembunyi 1 & 2 [SUDAH TERBIT✔️]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang