Mistake!

500 32 0
                                    

"Bagaimana dengan ngajimu mbak? Sudah berapa juz?" tanya Ayah saat datang menyambangiku. Aku tersenyum kikuk, bukan tersenyum, tapi miris mendengar kalimat Ayah barusan.

"Salim lagi libur Yah" ucapku, toh ini juga tidak berbohong.

"Ayah ndak mau kamu berbohong mbak, katakan sebenarnya ada apa, sampai Ayah harus ditimbali Abah seperti ini?" ucap Ayah, sepertinya sangat kecewa. Memang benar, aku berbuat suatu kesalahan yang sungguh fatal. Aku hanya mampu terdiam sampai Abah yang kebetulan atau entah memang sengaja keluar dari ndalem.

"Monggo pak!" ¹ Ayah masuk ndalem. Ibu dan Wahid adikku yang baru kelas 2 SD itu duduk menemaniku.

"Ayah dan Ibu susah payah biayain kamu buat mondok juga sekolah mbak, tolong jangan sia-siakan perjuangan orang tuamu yang semakin tua ini!" ucap ibu di tengah kesunyian suasana.

Hatiku seperti diperas habis-habisan, jiwaku bagai terhempas dari langit ke tujuh. Sungguh ini menyakitkan. Air mataku mulai menggantung, namun sebisa mungkin ku tahan agar tak jatuh.

"Bukankah sebentar lagi UKK, kapan itu?" ucap Ibu mengalihkan topik pembicaraan.

"Belum tahu buk, mungkin 1-2 minggu lagi" ucapku lirih. Mati-matian aku menahan air mata yang sudah tak kuasa ingin berontak ini.

"Sinau sing sregep! Gaweo Ayah karo Ibu iki bangga marang awakmu! Adikmu yo sok bakal niru marang mbakyune, dadi warai sing apik soko pengalaman uripmu iki"² ucap beliau sembari mengusap lembut punggung tanganku.

Duh Gusti Rabbi! Hamba ingin menangis sekarang!

Tahan Salim! Tahaaannn!!

"Kamu tidak melakukan kesalahan bukan?" tanya Ibu kemudian. Aku diam membisu, membayangkan kembali kejadian waktu silam saat ditimbali untuk ke ndalem bersama 7 temanku.

--FlashbackOn

"Mbak, Lissa takuttt" ucapnya sembari memegang tanganku erat. Matanya mulai berair. Duh, aku tidak tega.

"Dek, jangan takut! Ayo kita hadapi bersama!" ucapku meyakinkannya, meski aku sendiri tak begitu yakin.

"Mbak ini gimanaaaaa??!!" heboh yang lainnya. Aku dan mbak Marwah selaku paling tua hanya saling pandang, khawatir, takut dan masih banyak lagi perasaan yang dapat ku tafsirkan dari sorot mata teduh milik mbak Wah yang memang terlihat tenang itu.

"Siapa sih yang kasih tahu tentang hal ini? Bukankah kemarin tak ada yang tahu?" ucap Aiza frustasi.

"Pasti ada yang bermulut bocor! Dasar ember!" umpat Nayli.

"Ayolah, kita hadapi bersama. Jangan saling menyalahkan!" ucapku resah. Akupun khawatir, bukan untuk masalah ta'ziran³. Hanya saja sebentar lagi mungkin aku dan yang lain akan menjadi artis dadakan di kalangan mbak-mbak santri, terlebih di pondok kang-kang yang selalu uptodate masalah seperti ini.

Yaa Rabb, bagaimana ini?

"Mbak, cepet! Abah mpun duko-duko!"⁴ ucap seseorang yang tergesa masuk kamarku. Sekarang kamarku berada di atas. Karena memang sekarang berlaku peraturan anak sekolah kamarnya terpisah dengan mbak-mbak pondok.

Wajah pucat menghiasi raut kami. Lissa, adik pondokku yang memang telah aku anggap sebagai adik kandungku sendiri itu menggenggam erat tanganku. Yang lain juga bergumam tak jelas karena aku mulai melamunkan sebuah kemungkinan-kemungkinan buruk yang akan menimpa kami, terlebih aku yang memang jarang mengaji.

Takdir Tersembunyi 1 & 2 [SUDAH TERBIT✔️]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang