Masa Lalu

715 39 4
                                    

Jarum jam berdenting, waktu berjalan lambat. Semuanya hanya fatamorgana dalam realita yang fana. Aku lelah, aku letih bila harus membohongi perasaanku sendiri. Entah sampai kapan sesak ini membelenggu hidupku.

"Aku tahu kamu tak akan datang!" lirihku beserta uraian air mata. Dia yang kutunggu mengingkari janjinya untuk bertemu. Seseorang yang dulunya berarti untukku dan meminta jalan kembali dalam kisahku. Kukira dengan memberinya kesempatan untuk memperbaiki keadaan akan membuatnya lebih memahami aku. Namun, dugaanku salah!

"Salim," panggil seseorang yang kukira dia. Namun, ternyata orang lain.

"Ngapain kamu di sini sendirian? Bukankah rapat telah usai sejak 30 menit yang lalu?" tanya Reyhan, teman kelas sekaligus teman OSIS ku di Madrasah Aliyah ini. Ya, sekarang aku duduk di kelas XI.

"Kamu menangis? Why? Siapa yang buat kamu menangis seperti ini, Sal?" tanya Reyhan khawatir, mungkin?

Aku menggeleng lemah sembari mengusap air mata yang dengan lancangnya keluar tanpa permisi ini.

"Mbak Alif sudah selesai Les?" tanyaku mengalihkan pembicaraan. Memang hubunganku dengan Mbak Alif tidak seperti dulu yang sangat dekat, tapi juga tak jauh sedangkan dia yang selalu menyemangati aku untuk terus berorganisasi.

"Anak kelas XII kayaknya masih les. Kamu tadi nggak lihat Dira?" tanyanya yang membuat hatiku semakin hancur.

Aku menggeleng lagi dan terus mencoba agar tangisku tak pecah. Namun sialnya, tangis itu meledak saat aku melihat dua orang datang dengan bergandengan tangan dari tangga.

"Sal ...." Dia melepas gandengannya dengan seseorang yang berada di sampingnya.

Aku tak tahan, langsung saja aku berlari meninggalkan mereka yang menatapku iba, mungkin? Namun aku menabrak seseorang.

Kak Zaki?

Dia menatapku penuh tanda tanya saat aku menutupi sebagian wajahku bagian bawah dengan jilbab putihku.

"Kenapa, Dek Salim?" tanyanya heran. Aku menggeleng cepat dan segera berlari, menuruni tangga dan menyusuri koridor dengan penuh tangis. Banyak pasang mata yang bertanya dari kalangan anak-anak OSIS yang masih ngobrol di sana sampai guru-guru yang lewat juga.

"Dek Salim? Kenapa?" Aku menghentikan langkah cepatku dan melihat Mbak Alif keluar dari WC, langsung saja aku berhambur memeluknya.

"Kenapa, Adek?" ucapnya lembut sembari mengelus kepalaku yang terbalut jilbab dengan sayang. Namun aku terus saja menangis.

"Sudahlah, tak perlu ditangisi. Semua akan baik-baik saja, In Syaa Allah!"

Kapan terakhir kalinya aku senyaman ini memeluk Mbak Alif? Entahlah, yang terpenting aku ingin menumpahkan tangisku saat ini.

"Salim!" pekik seseorang. Siapa lagi? Aku melepas pelukan itu namun dipererat Mbak Alif.

"Menangislah sesukamu, Dek, Mbak Alif tak mau kali ini Dek Salim melalui semuanya sendiri!" Entahlah, aku juga tak mau memperdulikan Vina untuk kali ini.

"Mbak Alif kok gitu sih, Vina kan ...."

"Dek! Bisa dewasa sedikit nggak, sih? Kali ini saja!" bentak Mbak Alif. Aku saja tersentak kaget.

"Mbak Alif jahaaaattt!!" pekik Vina dan segera pergi dengan terburu-buru.

"Mbak, Vina ...." aku melepas pelukan itu.

"Sudahlah, Dek, ada kalanya Mbak Alif perhatian sama Dek Salima!" ucapnya sembari menghapus sisa air mataku.

"Loh, Mbak, tadi Dek Vina kenapa? Eh kok Dek Salim juga nangis? Wah rebutan kakaknya ya? Aku ngiri sama kamu, Mbak Alif," ucap Kak Zaki. Hatiku berdetak cukup kencang, apa maksudnya? Jangan sampai aku salah menafsirkan perkataan Kak Zaki. Duh, kepalaku pening.

Takdir Tersembunyi 1 & 2 [SUDAH TERBIT✔️]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang