"Home"

17 10 10
                                    

Pria itu sudah berdiri di kerumunan orang-orang di pintu kedatangan bandara. Dia berdiri paling depan dan melambaikan tangannya ketika melihat Zeze berjalan keluar. Iya, dia pria yang sangat aku rindukan, dia bukan Wahid, juga bukan Putra tapi "Ayah"

Dari Zeze kecil hingga sekarang tidak pernah sekalipun Ayah yang namanya tidak menjemput, tidak mengantar, bahkan saat main di taman bermain waktu usia 13 tahun bersama Naumi, karena antrian yang panjang Ayah selalu menunggu diluar antrian untuk memastikan bahwa Zeze dan Naumi baik-baik saja. Bahkan sampai sekarang, Ayah masih tetap menjaga Zeze dan Naumi meski sudah di luar pulau Sumatera. Kadang Ayah telpon, video call, atau kirim pesan singkat setiap hari. Bagaimana tidak, Zeze dan Naumi tidak punya kakak laki-laki, jadi Ayah yang selalu ada di samping Zeze dan Naumi sebagai Ayah dan juga kakak laki-laki yang selalu siap menjaga.

Ayah sudah menunggu di bandara Padang bahkan disaat pesawat Zeze dan Naumi dari Jakarta belum takeoff, pria mana coba yang bisa mencintai dan tulus kepada Zeze selain Ayah?.

Zeze dan Naumi berjalan menuju Ayah, salaman dan Ayah mengelus kepala dua putrinya dengan lembut "Anak Ayah sudah gede ya" menatap dengan mata berkaca-kaca. "Please yah jangan nangis sekarang!" Bathin Zeze

    Semua barang bawaan Zeze dan Naumi sudah berada di atas mobil. Setelah menjemput Naumi dan Zeze, kemudian makan malam dan melanjutkan perjalanann menuju rumah. Untuk daerah Sumatera, jarak dari kabupaten dan kota bisa berjam-jam tanpa macet. Zeze tinggal di Payakumbuh, yang berjarak kurang lebih enam jam dari bandara minangkabau.

    Dalam perjalanan pulang, Zeze dan Naumi tidak tidur sedikitpun, melainkan bercanda dan berbicara sama Ayah, mengenai kehidupan di Jakarta, bagaimana kuliah Naumi, teman Naumi serta kerjaan Zeze dan rekan kerjanya, hingga pertanyaan Ayah membuat Zeze kaget dan bingung.
"Teman kamu gak di ajak Ze?"

"Teman yang mana yah? Di rumah sakit teman semua" Zeze tersenyum kaku dan menatap Naumi.

"Itu teman deket kamu yang di Jakarta, padahal ayah mau beliin tiket pulang"

"Tiket pulang? Lah, tiket datangnya mana?" Tidak salah lagi, ini pasti yang dimaksud ayah Putra, satu bulan setelah deket dan akrab bersama Putra, dan Putra mengungkapkan perasaannya, tiba-tiba Zeze bercerita pada Bunda mengenai Putra. Aneh memang, empat tahun pacaran bersama Wahid tidak pernah sekalipun yang namanya Zeze curhat, cerita dan minta izin sama bunda. "Ayah tau dari Bunda ya?" Zeze cemberut dan menatap Ayah tajam.

   Obrolan Ayah, Zeze dan Naumi sangat panjang. Ayah juga bercerita mengenai masa muda bersama Bunda. Beberapa kali memang Ayah selalu mengungkit Wahid ataupun Putra, bagaimana tidak, dibandingkan Naumi, Zeze tidak pernah membawa cowo manapun untuk dikenalkan pada Ayah berbeda dengan Naumi yang selalu mengenalkan siapapun pria yang sedang dekat dengannya. Bagi Zeze membawa pria kerumah dan dikenalkan pada Ayah dan Bunda hanya sekali yaitu pria yang benar-benar bisa membuat Zeze yakin bahwa dia tulus dan menyayanginya.

  "Ze, Bunda kayanya sayang banget sama Wahid tu"

"Iyalah yah, gimana gak sayang, udah putus sama Zeze masih saja chat bunda dan nanyain kabarnya Bunda, trus ngomong 'makasih bunda sudah melahirkan seorang putri yang manis dan baik yang bisa memberikan kebahagian dalam hidup Wahid, Wahid juga minta maaf karna tidak bisa membahagiakan dan selalu menyakiti anak bunda' haha" ledek Naumi yang mebuat Zeze mencubit pahanya. "Sakit Ze!"

"Lagian, ngapain pake di bacain lengkap gitu sih? Ayah juga ikut-ikutan ketawa lagi"

"Yah baguslah Ze, berarti dia tulus sama kamu Ze"

"Kalau dia tulus, dia tidak akan mempermalukan dan berbicara kasar yah" bathin Zeze "Yah, yang tau dan yang ngerasain gimana Wahid cuma Zeze yah. Ayah, Bunda dan Naumi cuma tau baiknya doang, Zeze cerita juga bakal Zeze yang salah"

FootstepTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang