"Dia Pergi"

5 1 0
                                    

   Ini adalah hari-hari terakhir gue bersama Putra, sebelum dia pergi atau gue mulai menjauh. Entah gue yang memilih pergi, mengusirnya, atau ia pergi dan menemukan yang lebih baik.

    Hari ini gue libur dan Putra mengajak gue untuk nonton bersamanya. Gue sampai sekarang masih ingat film apa yang gue tonton, jam berapa, dimana. Rasanya saat itu masih mengental di otak gue.

     Dari pagi, perasaan gue udah gak enak. Beberapa kali, gue mondar-mandir kamar memikirkan apa yang harus gue ucapin ke Putra nanti. Karena niat gue adalah perpisahan bersama Putra. Perasaan gue gak karuan, gue gak mau kehilangan Putra, tapi gue harus melepasnya, kehadiran gue hanya akan memberatkan hidup dan menambah masalahnya, sifat cengeng gue yang buat dia merasa bersalah.

Gue berdiri di depan cermin, tersenyum
"Hai Putra!" Gue menarik nafas panjang, dan menepuk-nepuk pipi gue "Ngaakk! Gue gak boleh nangis sekarang! Putra gak boleh melihat mata sembab gue" gue meraih handuk dan mulai siap-siap.

Langkah kaki gue berat, Putra sudah menunggu gue. Sekarang berbeda, Putra sudah tidak mengendarai motor Mio-nya Lagi tapi mobil. Jujur saja gue lebih suka melihat Putra membawa motor, dibonceng Putra keliling Jakarta.

Gue membuka pintu dan menatapnya. Putra tersenyum menatap gue, senyum yang berbeda Ya Allah, matanya! Gue seakan melihat tatapan sedih di matanya, entah itu perasaan gue sendiri. Itu adalah saat pertama gue gak menatap mata Putra. Gue masuk dan menunduk, sesekali menatap keluar. Gue yakin Putra merasakan sikap aneh gue. Terlebih gue melihat Putra yang memakai kacamata dan topi. "Putra, lo ada masalah apa? Kenapa harus pake kacamata? Kenapa pake topi? Kenapa handphone lo suka gak aktif?" Bathin gue menerka-nerka semua pertanyaan itu tanpa berani bertanya sedikitpun.

"Ze, gue baik-baik aja ko. Gue make topi dan kacamata bukan kenapa-napa. Lagi pengen aja"

"Huh?" Gue kaget mendengar kata-kata Putra.

"Gak ko" Putra tersenyum "Ze, lu bukannya suka liat cowok bawa mobil dan menggunakan jam tangan?" Dia tersenyum dengan songongnya. Tapi hati gue lagi gak pengen bercanda dan memilih senyum kaku.

Ya Allah gue harus apa? Fikiran gue hanyalah ini saat terakhir gue melihatnya, ini saat terakhir gue mendengar suaranya, ini saat terakhir gue mentapnya dan melihat senyumnya. Saat air mata mulai ngambang, gue menatap keluar "Putra, kita udah dimana?" Seolah-olah gue baik-baik saja.

Gue dan Putra masuk bioskop, dan lampu mulai dimatikan. Putra menatap gue dan mengelus kepala gue serta bebisik "gue baik-baik aja!" Putra meraih tangan gue dan menggenggam erat, tidak melepaskannya sedikitpun hingga filmnya berkhir. Hari itu juga gue gagal, gue gagal membuat perpisahan yang indah, gue gagal menunjukkan ke Putra gue baik- baik aja, gue gagal membuat Putra merasa gak bersalah. Perasaan gue betul-betul hancur hari itu, jika Putra gak di ruangan itu gue pengen menangis den meluapkan semua sesak di dada gue. Putra! Gue gak kuat! Tapi gue harus pergi, gue gak mungkin selalu menyakiti lu dengan kehadiran gue. Melihat lu dengan masalah besar, kehadiran gue menambah masalah lu membuat gue semakin sedih. "Maafin gue Putra" bathin gue seakan meronta siang itu.

Itu adalah saat terakhir gue ke bioskop. Hingga saat ini tak sekalipun kaki gue melangkah masuk bioskop.

Film berakhir, gue dan Putra lanjut pulang. Mobil Putra sudah parkir didepan kosan gue. Gue marih hanphonenya, tapi diraih balik oleh Putra.

"Mau ngapain?" Putra menyembunyikan handphonnya, seolah tau apa yang akan gue lakukan.

"Udah, hapus aja!"

"Jangan kaya anak-anak deh! Gue gak akan melakukannya!"

"Lo gak hapus, gue gak akan turun" gue kekeh untuk meminta Putra menghapus nomor hp gue dari handphone nya.

"Apaan sh? Ze, gak enak diliat orang! Udah dong. Iya ntar di rumah gue hapus" Putra menatap gue

Gue tau betapa keras kepalanya Putra, gue menyerah dan turun dari mobil. Kaki gue terasa lemah, bahkan gue gak menatap kebelakang.

Semenjak itu hubungan gue dan Putra hancur. Hingga terakhir bertemu Putra, gue berhasil menghapus nomor gue dari handphonenya. Setelah gue mendapat penjelasan bahwa Putra sudah dijodohkan oleh orangtua nya. Gue iklas Putra, lo memang harus pergi dari gue, gue gak mungkin selalu menyakiti lu, gue gak mungkin selalu menjadi bahan perdebatan antara lu dan bokap lu. Perasaan gue benar-benar hancur saat itu.

Putra meraih tangan gue
"Ze, jangan pernah ganti nomor ya! Selalu berkabar ya! Jaga diri lu baik-baik" itu adalah kata-kata terakhir, saat terakhir gue bertemu Putra.

Gue gak bisa menyampaikan bagaimana keadaan saat-saat hubungan gue dan Putra hancur, bahkan gue juga masih belum yakin bahwa tidak ada lagi nama Putra dihidup gue. Rasanya baru kemaren gue bertemu dia di gang kecil, baru kemaren gue jalan-jalan bersama Putra di Jakarta, baru kemaren gue ke bioskop bersama Putra. Tapi sekarang sudah tidak ada lagi Putra. Meski setelah itu beberapa kali gue masih menghubungi Putra, atau Putra menghubungi gue. Sebelum dia pergi dan block gue dari semua media sosialnya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 21, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

FootstepTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang