Kepalaku benar benar pusing hari ini. Rasanya rambutku mau copot dari kepala. Sialan, kakak tiriku itu benar benar menyebalkan. Mana bisa ia memaksa aku untuk mengembalikan ayah kepadanya? Aku saja tidak tahu kalau ayah menghianati kami.
Aku mengingat-ingat, sedang dimana aku sekarang?
"Kau sudah bangun?" Tanya seseorang
Iya, jawabku sambil meringis.
"Kenapa kau bisa pingsan?" Tanya dia lagi.
Aku hanya menggidikan bahu.
Dia menarik nafas kemudian menghembuskan dengan keras. "Kamu gak pernah makan ya? Atau kamu diet?". Aku mengernyit bingung. "Kenapa pertanyaanmu banyak sekali? Bukanya kamu jarang berbincang denganku? Bukanya selama ini kamu membenciku karena dulu aku menginjak kakimu? Tanyaku dengan ketus. Terlihat ekspresi kaget di wajah Siddharth, kemudian ekspresi kaget tersebut berubah menjadi tatapan gelap. Biasanya aku akan takut, tapi sekarang aku berani. Toh juga itu hanya ketidaksengajaan yang tak perlu dibesar-besarkan. Kulihat lagi Siddharth, dia menundukkan kepala seolah dia merasa bersalah, kemudian tangannya terulur menarik kepalaku agar bersandar di dadanya kemudian ia berucap
"Maaf, karena aku tidak tahu harus menanggapi hal itu seperti apa. Jadi aku putuskan untuk membencimu selama satu semester ini"
Aku terkejut akan sikap Siddharth yang melankolis, ucapannya sarat akan kesedihan.
Aku mendorongnya agar menjauh dariku. Melihat reaksiku yang seperti ini, Siddharth terkejut. Aku memicingkan mataku.
"Emm, maaf. Ini, makanlah." Ucapnya kaku sambil menyerahkan roti dan sebotol air, kemudian pergi meninggalku***
"Bodohnya dirimu, Siddharth." Aku menyesalinya. Bertingkah seperti orang lemah. "Akhhhh." Pekikku saat melewati koridor sekolah.
"Siddharth, kau tidak apa? Tanya Gautam. Aku terkejut dan ku jawab tidak apa apa. Gautam mengajakku pulang karena jam sudah menunjukkan pukul 15.00 dan aku mengiyakan.
Saat hendak menuju parkiran, aku teringat sesuatu yang membuat langkahku terhenti. Aku teringat akan Prerna, apakah ia sudah dijemput atau belum? Aku bertanya dengan Gautam, tapi aku hanya mendapat ejekan. "Bukannya kamu benci dia? Atau sekarang sudah kena hukum karmanya?" Ucapannya mengejek. Ejekan Gautam ada benarnya juga. Kami melanjutkan menuju parkiran dan akhirnya berpisah di gerbang sekolah. Saat berbelok ke arah utara, disana, di halte bus, aku melihat gadis berambut panjang dijemput oleh seorang pria, yang aku tahu itu bukanlah ayahnya. Mendadak hatiku ngilu. Aku melanjutkan perjalananku untuk pulang kerumah, menepis rasa ngilu di hatiku.*****
Hari ini aku dijemput oleh kak Druv. Sebenarnya aku masih takut dengannya, tetapi selama lebih dari seminggu tinggal satu rumah, aku tahu kak Druv sangat baik dan perhatian terhadapku, sama halnya saat aku kelas empat dulu. Sifat kak Druv benar benar beda dari adiknya. Selain menjambak rambutku, pernah juga ia menyindirku dengan berucap "seharusnya ini adalah kamarku, tapi sekarang aku harus berbagi dengan adik tiriku ini.. hemmmmm." Jujur seratus persen, ingin sekali aku menyumpal mulutnya dengan sobekan kertas.
"Bagaimana bisa kamu pingsan di kamar mandi?" Tanya kak Druv membuyarkan lamunanku.
"Heh?" Tanyaku.
"Bagaimana bisa kamu pingsan di kamar mandi, Prerna?" Ucapannya lagi. Haa? Apa dia tidak tahu kalau aku pingsan karena adiknya?
"Oh, tekanan darah menurun" jawabku asal. "Bagaimana bisa?" Tanyanya lagi. Ahh, banyak tanya ini orang. "Entahlah", jawabku. "Kamu bertengkar dengan Nisa?"
Degggg.
Pertanyaan ini membuat dadaku sesak. Aku menoleh ke arahnya dengan wajah terkejut. Kak Druv hanya tersenyum. "Aku tahu.. tenang, hal itu tidak akan terjadi lagi." Ucapnya sambil mengelus pucuk kepalaku yang segera ku tepis.
"Sampai." Ucap kak Druv yang sudah bersiap siap untuk turun, tapi geraknya kalah cepat denganku. Aku lebih dulu sampai didepan pintu dan sudah bersiap untuk membuka pintu. Hingga saat aku mendengar suara barang dibanting dan disertai dengan teriakan, niatku untuk masuk aku urungkan.
"Masuk." Ucap kak Druv sambil memegang bahuku, menuntunku agar masuk kedalam rumah.
Ceklek
Pemandangan pertama yang aku lihat, ibu dengan air matanya, ayah dengan wajah frustasi dan Thunisa dengan barang yang siap dilempar. Yahh, keluargaku benar benar hancur sekarang, eperti ruang tamu ini. Tak terasa, air mata sudah membentuk sungai dikedua pipiku. Aku dipeluk ibu yang tiba tidak sudah berada disisiku. "Ayo, ibu siapkan makan untukmu" ajak ibu.
"Aakkhhhhhhh" Thunisa berteriak sambil melempar benda yang tadi berada ditangannya. Aku tidak peduli, lebih tepatnya tidak ingin peduli. Mau dia menghancurkan semua hal yang ada, aku tidak peduli. Toh, juga dia sudah menghancurkan hal yang paling berharga buatku, yaitu keluarga.
Sesampainya didapur, ibu nampak sibuk menyiapkan makan untukku.
"Ini sayang, makanlah. Setelah itu, Ibu mau menunjukkan sesuatu padamu" ucap ibu dengan senyuman yang dipaksakan. Ibu berlari keluar dapur. Tak berapa lama, ibu datang lagi dengan menjinjing kardus berdebu.
"Itu apa Bu?" Tanyaku. "Habiskan makananmu, sayang." Ucapnya sambil membersihkan isi dari kardus tersebut.
"Hehehe, iya bu" jawabku sambil menyuap makanan kemulutku. Keributan diruang tamu, sekali lagi tak kuhiraukan. Walaupun sempat aku mendengar kak Druv membentak ayah. "Jangan salahkan Nisa jika ia bertingkah seperti ini, salahkan dirimu sendiri ayah!!"
"Ibu" tegurku saat melihat ibu bengong dengan air mata menggenang dipelupuk matanya sambil memegang buku tebal. "Aah, ya? Kamu sudah selesai? Kemarilah. Mulai saat ini pelajarilah Bahasa Indonesia. Ini kamusnya." Pinta ibu dengan air mata bercucuran. "Hehh?" Aku mengernyit.
Oh iya, aku lupa. Ibuku adalah orang indonesia keturunan india. Pantas ibu menyuruhku mempelajari bahasa indonesia. Ibu hanya tersenyum.
"Iya bu." Jawabku sambil tersenyum.***
Sesampainya dirumah, aku dikejutkan oleh hiasan rumah yang semua berwarna putih. Mulai dari gorden sampai taplak meja, semua berwarna putih.Aku menyisir setiap sudut ruangan, sampai akhirnya aku menemukan foto ayah yang dihiasi lilin putih. Ah iya, aku lupa. Hari ini adalah hari kematian ayahku. Kupandangi foto ayah sambil memanjatkan doa, agar dewa memberikan tempat yang baik untuk ayah. Delapan tahun sudah ayah meninggalkan kami karena penyakitnya, tapi aku tidak pernah percaya bahwa ayah meninggal karena penyakitnya. Sampai saat ini aku belum mengetahui penyebab kematian ayahku. "Haii, Siddh. Sudah pulang?" Aku menoleh kearah pintu, disana berdiri bibi Ishita dengan senyumannya. "Eh, bibi. Sudah. Kapan bibi datang?" Tanyaku. "Sudah dari tadi pagi Siddharth." Aku hanya ber-oh saja. Bibi mengajakku duduk di ruang tamu, katanya ingin berbincang bincang denganku dan katanya ia sangat merindukanku.
Setengah jam kami duduk di ruang tamu untuk berbincang bincang, lebih tepatnya mendengarkan perbincangan bibiku yang hanya ku tanggapi dengan gumaman singkat. Aku memang tidak terlalu suka berbincang bincang. Dari dulu, aku memang terkenal sangat dingin. Aku berharap kak Abhi segera pulang sehabis bimbel, agar bibi Ishi berbincang bincang dengan kak Abhi saja.
Sepertinya, dewa memberkatiku kali ini. Tak berapa lama kak Abhi datang dengan suara cempreng khas perempuan.
"Bibi ishii....." ucapnya sambil berlari kemudian memeluk bibi. Sikapnya sangat manja, membuatku ingin muntah saja. Moment ini aku manfaatkan untuk kabur.Akhirnya aku berhasil kabur, dan kupilih untuk masuk ke sebuah ruangan yang dulu adalah ruang kerja ayahku. Selama delapan tahun ayah pergi, dan baru sekarang aku masuk ke ruang kerja ini. Dulu waktu aku berumur enam tahun, aku selalu diajak belajar menulis di ruangan ini. Ahh, rasanya benar benar menyesakkan ditinggal seorang ayah. Aku mengamati semua sisi di ruangan ini. Masih sama seperti saat ayah masih menggunakannya. Namun, ada satu yang benar benar asing dimataku, yaitu sebuah kotak kayu tipis, terselip di tumpukan buku buku tebal.
"Sebelumnya aku tidak pernah melihat kotak kayu ini. Atau karena sudah lama aku tidak kesini, aku jadi lupa. Lebih baik aku buka saja, siapa tahu ayah menaruh uang disini atau perhiasan." ucapku seorang diri sambil membuka kotak tersebut.
Bau kertas menguar saat aku berhasil membuka kotak tersebut. Isinya beberapa lembar kertas. Salah satunya adalah surat yang isinya...
15 OKTOBER 2010
"Jika kau tak memberikan sertifikat tanah itu, akan ku pastikan kau mati tanpa ada yang mengetahui motif dari dari kematianmu"
Sooraj Nigam❤❤
Ceritanya makin gak nyambung yaa
Hehehe
Salam.
Anggi sri wahyuni