15 OKTOBER 2010
"Jika kau tak memberikan sertifikat tanah itu, akan ku pastikan kau mati tanpa ada yang mengetahui motif dari dari kematianmu"
Sooraj Nigam
Aku masih dikejutkan dengan surat tersebut. Ini benar benar membingungkan. Nigam, berarti dia masih keluargaku. Tapi, kenapa aku tidak pernah mengetahui orang ini? Sambil memijit pelipis, aku mencoba mengingat siapakah orang yang bernama Sooraj Nigam ini. Apa benar ia masih keluargaku. Krekk!! Suara pintu terbuka membuatku terkejut. Rupanya kakak yang masuk. "Sedang apa?" Tanya kakak. "Emm, kak. Apa kau tahu siapa itu sooraj nigam?" Tanyaku langsung. Kakak mengernyit. "Kau tidak tahu?" Tanyanya balik. Ck, kalau sudah aku tahu tidak mungkin aku bertanya. Aku hanya mendengus. "Dia saudaranya ayah yang tinggal di Punjab." Jawab kakak serius. Sudah kuduga, itu adalah keluarga. "Tapi, kenapa kau tumben menanyakan paman?" Tanya kakak lagi. Aku kelimpungan mendengar pertanyaannya. "Emm, tadi... aku melihat kartu nama di bawah meja." Jawabku gugup, berbohong. Untungnya kakak percaya dan mengajakku keluar, karena pemujaan akan segera dilaksanakan.
****
Di ruang tempat pemujaan berbagai aroma bertumpah ruah masuk keindra penciumanku. Ada aroma dupa, bunga, air kum-kuman, aneka persembahan, semuanya membuat pikiranku tenang.
"Abhi, Siddharth, kemari sayang." Mommy memanggilku serta mengisyaratkan untuk duduk disampingnya. Aku mengangguk. Saat hendak menuju tempat mommy, aku melihat dia. Iya, dia gadis berambut panjang yang tadi pingsan dan aku tolong, Prerna Sharma. Dia menggunakan pakaian berwarna putih, dengan selendang di lehernya. Tatapan kami kemudian bersua, kemudian ia tersenyum. Senyumnya sangat manis. Jika tidak ingat akan isyarat mommy tadi, aku yakin seratus persen, aku akan betah melihat senyumnya.*****
Hari ini, aku disuruh ayah untuk menghadiri upacara peringatan kematian dirumah Siddharth. Mendengar namanya saja sudah membuatku kesal, apalagi kalau bertemu dengannya, tambah runyam emosiku . Belum lagi mendengar ocehan kedua kakak tiriku ini, yang kerjaannya cuma mengomentari tanpa bisa berbuat apa. Aku sudah siap untuk pergi kerumah Siddharth, tiba tiba Thunisa datang. "Mau kemana? Kok semua pakaian berwarna putih?" Jujur seratus persen, saya membenci penyihir didepanku. "Mau kerumah Siddharth." Jawabku sambil tersenyum, kemudian melengos pergi. "Wahh, enak ya dekat dengan pria tampan." Dia menyindirku. "Terserah kakak saja. Kemungkinan saya pulang malam, jadi tugas rumah kakak yang kerjakan dulu." Aku meninggalkannya. Dia hanya terdiam sambil mengepalkan tangan. Aku tidak peduli. Moodku benar benar runyam sekarang. Aku harus memperbaiki moodku agar tak bermuka masam diantara tamu undangan nanti. Es krim mungkin bisa membantu, kulirik jam tanganku. Masih ada waktu lima belas menit, aku bisa beli es krim sekarang. Setelah membayar, aku duduk dibangku disebelahnya. Satu sendok es krim masuk dimulutku. Hemm, rasanya yang benar benar enak langsung mengembalikan mood saya. Segera aku habiskan agar tidak ketinggalan bus.
Saat didalam bus aku mengeluarkan earphone dan memasangnya ditelingaku, hanya untuk menghalau kejenuhan. Rumah Siddharth lumayan jauh.
***
"Salam. Apakah benar ini kediaman Nigam?" Tanyaku pada seorang wanita paruh baya yang mengenakan sari putih. Dia menoleh, kemudian melirikku dari atas sampai bawah, kemudian balik lagi dari bawah sampai keatas. Tentu saja hal itu membuatku gugup. "Iya,benar. Nona siapa?" Tanya wanita itu. "Saya perwakilan dari Aham Sharma, nyonya." Jawabku sopan, yang kemudian dibalas dengan senyuman hangat. "Mari nak, silahkan masuk. Victarika, antar nona sharma kedalam." Wanita yang kutahu namanya Ishita ini menarik tanganku. Sesampainya didalam, aku melihat Siddharth dan kakaknya tengah berdiri. Kak Abhi memberikan senyuman kepadaku dan ku balas dengan senyuman, sedangkan Siddharth sedikit tertegun akan kehadiranku.****
Avneet duduk di ruang belajarnya. Buku buku tampak berhamburan. Sedari tadi dia hanya membuka bukunya tanpa dibaca. Dari dua jam waktu belajar dirumah, 98% dia hanya melamun.
"Hahhhh.. apa harus aku mendapatkan peringkat 1? Untuk apa peringkat itu?"
Tanpa disadari, ibunya sudah berdiri di sampingnya.
"Avneet, ibu suruh kamu ikut bimbel agar kamu lebih fokus belajar. Bukannya seperti ini, selalu melamun. Semester depan ibu tidak mau melihat peringkat 3 lagi. Dan satu lagi, berhenti berteman dengan gadis kampung itu." Ucap ibu Anita kepada putrinya.
Avneet terkejut.....
"I..ibu. kenapa aku harus mendapatkan peringkat 1? Dan.. dan kenapa aku tidak boleh berteman dengan Prerna. Apa salahnya?" Avneet bertanya dengan gugup. Ibunya menatap dia tajam.
"Ibu bilang tidak ya tidak!" Jawabnya frustasi. Avneet terperanjat,dan akhirnya menangis. Satu hal yang tidak ibunya sukai adalah, melihat putrinya menangis. Kemudian sikap ibunya melunak. Sambil mengusap kepala Avneet, ibu berkata " semua ini hanya untuk masa depan kamu." Ibunya melirik jam. "Sekarang, istirahatlah." Ucap ibunya sambil menggandeng tangan Avneet. Avneet sendiri, masih gemetar dan tidak mengerti maksud ibunya.
****
setelah upacara kematian ayahnya, Siddharth kembali ke sekolah setelah cuti selama dua hari.
"Woyyyyy, akhirnya ketua kelas kita hadir. Ck, apa kau tahu, wakil kita tidak bekerja dengan baik." Ucap Gautam menyindir Prerna yang tengah membaca novel. Meskipun telinganya tersumbat earphone, Prerna masih bisa mendengar dan hanya memberi tatapan tajam. Malas dengan mulut besar Gautam.
"Hey, Gautam. Ibumu ada? Eh, maksudnya ibumu ngajar?" Tanya Shaarikha. Gautam terkejut dengan kalimat retoris itu. Tentu saja Ibu Thanu akan mengajar. Bahkan saat Gautam sakit pun tetep mengajar.
"Coba kamu ingat, kapan ibuku tidak pernah tidak ngajar?"
"Tidak pernah"
"Itu sendiri sudah tahu.. sana, kembali ke kelasmu." Seisi kelas tertawa melihat mereka.
Siddharth berjalan ke mejanya dan tenggelam dengan aktivitasnya, membaca buku.
Pelajaran pertama akhirnya dimulai....Bel istirahat akhirnya terdengar. Siswa tumpah ruah datang ke kantin. Mengisi perut dengan aneka masakan tradisional yang dijajakan di setiap kantin.
"Kau ikut aku ke kantin kan, Avneet?"
Avneet bingung. Dia ingin bersama Prerna, tapi takut dengan ibunya. Setelah berpikir panjang, akhirnya Avneet hanya berkata bahwa dia membawa bekal dan diangguki oleh Prerna. "Kalau begitu, aku ke kantin ya."
"Harusnya tidak begini" batin Avneet."Dimana berkas berkas yang menyatakan penyebab kematian ayah , mom?" Tanyaku pada mommy.
Mommy terkejut dan bertanya ada perlu apa. "Hanya ingin tahu saja." Jawabku asal. Kemudian mommy menarik tanganku dan membawaku ke kamarnya. Mommy berjongkok dibawah meja riasnya, mengambil koper berdebu. "Di sini berkas berkas penting ayahmu. Mom takut kalau ada yang mencurinya, jadi mom taruh disini." Ucapnya sambil memberikanku beberapa berkas yang memaktubkan nama rumah sakit tempat ayah dirawat dulu. "Ayahmu meninggal karena sakit ginjal."
Tapi aku tidak terlalu percaya dengan berkas ini, bisa saja data ini dipalsukan.
"Boleh aku membawanya dulu mom?" "Tentu sayang." Balas mommy dan aku pergi ke kamarku.Dalam beberapa hari, akhirnya aku menemukan tempat dimana ayahku ditemukan saat dia sekarat, yaitu kantornya sendiri. Akupun langsung bergegas kesana, dan alhasil aku bertemu dengan seorang yang mirip ayahku. "Permisi, apa ini ruangan Teja Nigam?" Orang itu terkejut. Kaki yang ia selonjorkan di meja kerjanya, dengan cepat menapak di lantai. Sungguh angkuh orang ini, batinku.
"Anda mencari siapa?" Tanya dia. "Benar ini ruangan ayah saya dulu?"
Dia sedikit mengingat, dan akhirnya berteriak. "Tunggu dulu! Kamu Siddharth ? Ponakan saya?"
Aku hanya mengangguk. "Oh ya dewa, kenapa tidak bilang mau kesini?" Harus ya, aku bilang kalau aku mau kesini? Inikan kantor ayahku, batinku.
Entah mengapa, aku sudah mulai sensitif dengannya. Aku pun dipersilahkan masuk, disuguhkan teh dan aneka camilan. Dia menyeruput tehnya, kemudian bertanya. "Apa yang membawamu kemari?" Aku menyeruput tehku juga. "Hemmm, hanya ingin tahu lebih mendalam paman. Secara, aku belum tahu apa apa tentang ayahku." Jawabku yang membuatnya sedikit mengerutkan alisnya. Mungkin dia merasa tersindir, tetapi akhirnya dia mengeluarkan senyumnya. "Maksud kamu, kematian ayahmu?" Aku hanya mengangguk samar. Paman mendesah pelan sambil menyandarkan punggungnya. "Baiklah, paman akan menceritakannya." Paman menarik nafas, "Dulu, ayahmu adalah pengusaha yang hebat. Namanya terkenal di Mumbai dan Punjab. Dia sangat disiplin dengan pekerjaannya, sampai dia melupakan waktu makan. Lama kelamaan, ayahmu mengidap penyakit komplikasi.." Paman menarik nafas, sekedar memberi jeda.
"Hingga pada suatu hari, ayahmu ditemukan tak sadarkan diri di ruangan ini. Di duga, ia juga terkena serangan jantung. Dan akhirnya..." Pamanku terisak, tidak melanjutkan cerita. Air mata buaya, batinku. Sudah kuduga ceritanya bakal seperti ini. Dia menyembunyikan cerita surat itu. Aku hanya tersenyum kecut, karena tidak mendapat informasi lebih. Aku menyeruput tehku lagi, aku mendapatkan ide. Ide yang bisa kugunakan untuk mencocokkan tulisan dalam surat itu. "Apa keluarga benar benar yakin, kalau ayah meninggal karena penyakitnya?" Tanyaku. Lagi lagi paman terkejut. "Maksudmu?"
"Ahh, maaf. Maksudku apa tidak ada kasus kasus lain, seperti ayahku mabuk, dipukuli orang? Kan paman tadi bilang kalau ayah terkenal, bisa saja kan banyak yang ingin membunuhnya." Wah, kata kataku sepertinya benar benar tepat, terlihat dari raut wajahnya. Pamanku berusaha rileks, tapi percuma, dia sudah ketahuan. "Tidaklah. Kamu ini ada ada saja. Ayahmu mana bisa minum minum. Dipukuli? Memang ada yang berani?" Jawab paman, berusaha santai. Ada, kamulah orangnya. Batinku. Akhirnya aku mengakhiri pertanyaan ini dengan meminta alamat rumah paman yang di tulis diselembar kertas putih.Setelah meninggalkan gedung itu, aku bergegas menuju rumah untuk membuktikan apakah surat kecil itu ditulis oleh pamanku.
Dan hasilnya, sesuai dugaanku. Tulisan tangan ini benar benar percis sama.
"Aku menemukanmu! Batinku.Haii, maaf nih baru update. Soalnya sibuk ujian.
Sekali lagi maaf ya..
Tbc,
ajabdemeher