The Gentleman

236K 10.6K 134
                                    

Aku baru akan menyeret koperku ketika tangan besar milik Keynan terlebih dahulu mengambil alihnya dariku.

"Thanks", ucapku dan Keynan hanya tersenyum.

Sejujurya Keynan cukup manis. Oke, bukan manis, tapi sangat tampan. Oh, kalian boleh bilang aku gila sampai tidak tertarik pada lelaki super baik hati namun sombong ini. Aku tidak perlu menyebutkan angka fantastis jumlah penggemarnya di kampus, kan?

Walaupun terkadang Keynan bersikap konyol dan menyebalkan, tetapi harus aku akui dia lebih peduli padaku dibandingkan Ken yang kadang justru sedikit tidak peka dengan perasaanku. Dan itu sering membuatku kesal.

"Sial."

Aku menarik jaketku, berusaha menutupi wajahku begitu melihat segeromobolan dengan kilatan blitz yang menyambar - nyambar. Siapa lagi kalau bukan wartawan?

Aku yakin mereka pasti datang ke sini bukan untuk menyambut kedatanganku secara khusus. Tapi kalau mereka melihatku datang dengan seorang lelaki di sampingku pasti akan menjadi sebuah kabar berita yang sangat menarik untuk dipasang di dalam media berita mereka.

Dan aku tidak akan terkejut kalau besok namaku juga wajahku dan wajah Keynan sudah terpampang di berbagai media massa. Habislah riwayatku kalau eyang putri sampai mendengar kabar tersebut!

Bodoh sekali, harusnya aku memikirkan kemungkinan ini.

"Ada apa?", aku menoleh mendengar pertanyaan Keynan. Ia menatapku dengan alis terangkat, wajahnya tampak bingung.

"Itu, di sana ada sekumpulan wartawan..."

"Lalu?"

ku mendelik menatap Keynan. "Kadang aku ragu kalau kamu ini benar - benar pintar.", sindirku pada Keynan.

Barulah beberapa detik kemudian Keynan tampak memahanmi maksudku. "Kamu takut mereka mengejarmu?"

"Bukan hanya aku, tapi juga kamu!"

"Baiklah.", Keynan menyerahkan kacamata hitamnya padaku. "Pakai ini dan tutup kepalamu dengan jaket. Aku akan menyembunyikanmu dalam tubuhku.", ujarnya.

Aku pun menuruti perkataan Keynan dan masuk ke dalam rangkulan tangan besarnya yang ternyata memang cukup membantu untuk menyembunyikan tubuhku. Aku baru benar - benar bisa bernafas lega ketika kami berdua sudah berada di dalam taksi.

Dalam perjalanan menuju rumah eyang aku lebih banyak diam, karena Nervous. Setelah 2 tahun lebih mengenyam pendidikan di Berlin, inilah kali pertamanya aku kembali menginjakkan kakiku ke rumah. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana reaksi eyang nanti. Apa dia akan marah? bagaimana kalau dia tau aku datang bersama Keynan?

"Kamu kelihatan gugup.", ujar Keynan saat menoleh ke arahku.

"Tentu saja. aku khawatir kamu akan kembali ke Jerman sendirian.", candaku padanya.

"Jangan begitu Rianda, aku jadi sedikit menyesal menerima tawaranmu ke sini.", candanya dan menarik tanganku untuk turun begitu taksi kami sudah berhenti di pintu gerbang rumah eyang yang sangat besar.

Aku melintasi pekarang depan rumah yang sangat luas sambil sedikit bersembunyi di balik tubuh Keynan. Langkahku terhenti begitu melihat sosok eyang yang sedang dduk di kursi depan rumah sambil berkipas - kipas.

Aku menarik nafas kemudian menatap Keynan sebentar dan memantapkan hatiku untuk bertemu eyang.

"Assalamualaikum, eyang...."

Eyang tampak terperangah begitu melihat ke arahku ia tersenyum bahagia, namun senyum itu seakan sirna begitu saja melihat Keynan di sampingku. Senyumnya kini digantikan dengan wajah murkanya.

Arianda MargarethaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang