Bad Feeling

215K 10.1K 236
                                    

"Kamu baik - baik saja, Arianda?", aku menoleh ke arah mbak Wina, salah satu teman seprofesiku sebagai dosen di kampus.

Aku menatapnya dengan mata sedikit berkunang. Kusandarkan satu tanganku ke pilar gedung sambil sebelah tanganku lagi memijat pelipisku. Mbak Wina meraih pundakku dan memijatnya pelan.

"Kamu sakit? mukamu pucat..", ujarnya cemas.

Aku memaksakan seulas senyuman kepada mbak Wina. "Cuma agak kurang enak badan, mungkin kecapekan."

Mbak Wina balas tersenyum. "Kamu sih terlalu sibuk sama karir kamu. Mendingan kamu cepetan nikah biar ada yang jagain...", ujarnya sambil mengedip ke arahku.

Ya ampun, walaupun umur kami terpaut cukup jauh, namun sikap mbak Wina yang sangat supel memang membuatku begitu nyaman kalau berbicara dengannya. Sejak awal aku masuk ke dalam lingkungan akademisi mbak Wina senantiasa membimbingku untuk menjadi seorang staff pengajar yang baik. Dia juga sangat pintar. Di umurnya yang hampir kepala 4, mbak Wina masih tetap terlihat muda dan enerjik. Ia bahkan cuek kalaupun para mahasiswa menyebutnya sebagai "Dosen kadang killer kadang hebring"

"Nanti aku bujuk Keynan deh biar cepet ngelamar kamu...."

Kali ini aku benar - benar tertawa mendengar candaan mbak Wina. Menikah? dengan Keynan?

Yang benar saja.

Lelaki itu sekarang bahkan sedang sibuk penjajalan dengan calon kekasih barunya itu. Mana sudi dia menoleh ke arahku? haha

"Ah, mbak bisa aja..."

"Kamu mau aku antar pulang ke apartementmu aja? kebetulan jadwal mengajarku sudah selesai."

Dengan halus kutolak tawaran mbak Wina "Tidak usah, mbak. Nanti saya naik taksi aja. Mbak harus jemput Kelly ke sekolahnya kan?", ujarku mengingat jadwal harian mbak Wina untuk menjemput putrinya yang masih berumur 5 tahun di taman kanak - kanak yang merangkap tempat penitipan anak.

Setelah beberapa kali bersikeras untuk mengantarku pulang namun akhirnya mbak Wina menyerah dan mengantarku ke ruang dosen untuk beristirahat sebentar.

sebenarnya ada alasan lain kenapa aku begitu keras kepala menolak tawaran mbak Wina yang sudah berbaik hati mau menolongku.

Sejujurnya aku ingin mampir ke suatu tempat, ke apotek tepatnya. Untuk membeli....

Testpack.

Sudah seminggu ini aku gelisah. Biasanya periode datang bulanku selalu teratur namun berbeda kali ini, sudah lewat seminggu dari jadwal seharusnya. Aku bahkan sudah memperhitungkan kapan seharusnya paling lambat aku masuk periode bulananku.

Dan seminggu ini pula aku terus dibayang - bayangi sosok lelaki tampan misterius di malam suram beberapa minggu yang lalu. Aku tak bisa membayangkan jika ketakutan terbesarku menjadi kenyataan.

Hamil di luar nikah.

Dan lebih parahnya aku bahkan tidak ingat, bukan tidak ingat, tidak tahu jelas, lebih tepatnya, wajah siapa ayah dari bayi dalam kandunganku jika aku benar - benar hamil.

Aku berusaha menguatkan tubuhku untuk berdiri dan keluar dari kampus untuk segera membeli bneda kecil nan sakral itu. Aku tidak berani untuk periksa ke dokter, karena aku takut berita ini bocor ke masyarakat.

---------------------------

Pait.. pait.. pait...

Aku memejamkan mata sambil mengulang mantra itu berkali - kali dalam hati dengan harap - harap cemas. Entah sudah berapa jenis testpack yang sudah kucoba. Semuanya hasilnya sama. Membuatku lemas setengah mati setiap kali melihat hasil yang ditunjukan benda - benda itu yang menyatakan bahwa aku memang positif hamil.

Arianda MargarethaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang