15 tahun yang lalu...
"Arianda.."
"Inggih, Eyang.."
Aku duduk bertopang diatas kedua kakiku sambil menunduk di dekat kursi eyang putri. Malam ini aku pasti habis dimarahi eyang karena tidak pergi ke sanggar tari dan malah ikut bermain dengan Lithayu, putri abdi dalam keluarga Mangkumiharjo.
Jujur saja, aku bosan dengan kehidupanku di sini. Setiap hari aku harus mengikuti jadwal yang penuh dengan segudang kegiatan. Entah belajar formal, belajar bahasa asing sampai belajar seni tari, melukis, memasak, bermain musik tradisional sampai menyinden. Terus begitu setiap harinya dari pagi sampai petang. Eyang putri hampir tak pernah memberikanku waktu untuk bermain keluar bersama teman - teman sebayaku.
Aku memang hanya tinggal berdua bersama eyang sejak aku kecil. Kedua orangtuaku menitipkanku pada eyang untuk diberikan bekal pendidikan yang cukup sebagai keluarga bangsawan, sementara mereka harus tinggal terpisah jauh dariku di tanah kelahiran ibuku, Inggris.
Awalnya baik eyang putri maupun eyang kakung menentang keras pernikahan ayah dan ibuku yang memang dilakukan tanpa sepengetahuan mereka karena saat itu ayah sedang mengenyam pendidikan masternya di London. Begitulah menurut penuturan ayah. Namun lama - kelaman hati eyang pun luluh setelah kelahiranku sebagai cucu dari putra satu - satunya, sementara 2 orang adik ayah semuanya perempuan. Akhirnya eyang mau menerima ibu dengan syarat ibu harus membiarkan eyang putri membesarkanku di sini. Mau tak mau ibu pun merelakan aku tinggal bersama eyang dan ikut menemani ayah bertugas di Jerman.
Sesekali mereka mengunjungiku saat aku liburan sekolah. Itu pun kami tetap lebih sering menghabiskan waktu di dalam rumah karena eyang tidak memberikanku libur juga untuk pendidikan informalku. Aku masih harus tetap belajar menari, melukis, dan sebagainya. Tapi aku tidak keberatan selama ada ayah dan ibu yang terus menemani aku.
"Kamu tahu apa salah kamu?", tanya eyang dengan nada tenang yang justru membuatku takut.
"Inggih, eyang. Rianda bolos di kelas tari sore ini..", jawabku pelan dan lesu.
Kudengar kursi eyang berderak dan kulihat kaki eyang mulai melangkah sedikit sambil melipat tangannya ke belakang.
"Kenapa kamu bolos, ndhuk?"
Aku diam tergugup memikirkan jawaban apa yang harus aku berikan pada eyang. Aku gak mau Lithayu ikut terseret dalam masalahku. Nanti pasti eyang akan marah pada mbok Jainem..
"Apunten eyang, Rianda minta maaf.. Rianda lupa kalau ada jadwal kelas tari hari ini..", ujarku berbohong.
Kulihat telapak kaki eyang berputar mengarah ke arahku. Jantungku pun semakin berdebar. "Kamu ini bagaimana, toh? lusa itu kamu sudah harus tampil dalam upacara Sekaten! ayah ibumu akan pulang untuk melihat kamu. Kalau nanti mereka ngeliat tarian kamu jelek, malu eyang, malu.. Rianda..", ujarnya penuh nada penekanan padaku.
Aku semakin menundukkan kepalaku dan membiarkan rambut panjang coklat terangku terjuntai ke depan. "Apunten eyang. Rianda sangat menyesal. Rianda janji akan berlatih keras untuk upacara besok.", ujarku dengan sungguh - sungguh.
Aku gak mau kalau karena masalah bolosku ini eyang justru minta ayah dan ibu batal datang ke sini karena takut merasa malu kalau nanti ternyata aku tidak bisa menari sebaik mungkin.
Ku dengar eyang menarik nafas kemudian berjalan kembali ke kursinya. "Eyang niki mendidik kamu untuk bekal kamu nanti. Biar kamu tidak kehilangan jati dirimu sebagai keturunan Mangkumiharjo. Setiap perempuan keturunan Mangkumiharjo harus menjaga martabat, berpendidikan, dan yang terpenting harus menjadi perempuan yang terhormat! Karena itu eyang memberikan kamu segala macam pendidikan wajib sebagai seorang perempuan. Ngertos, Rianda?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Arianda Margaretha
RomanceKalian pikir hidupku sempurna. Siapapun ingin berada di posisiku. Oh, aku akan dengan senang hati menukar posisiku dengan gadis manapun yang memiliki kehidupan yang normal. Kuberitahu saja, kehidupan seorang 'putri' itu tidak seindah yang sering kal...