9

1.4K 226 4
                                    

«●»

"Woah... kau masih berani menitipkan Leo padaku?" tanya Jiyong ketika pagi ini Lisa tiba-tiba menggedor pintu apartementnya dan membangunkannya di pukul 7 pagi.

"Anniyo, aku tidak berani. Tapi aku tidak punya pilihan lain,"

"Wae?"

"Hari ini hari orangtua-"

"Lalu? Kau tidak bisa datang kesekolahnya? Wae? Atasanmu tidak mengizinkanmu cuti? Sebenarnya siapa atasanmu itu? Kenapa dia tega sekali pada anak semanis Leo?"

"Bisakah kau mendengarku lebih dulu?" tanya Lisa yang kemudian membuat Jiyong menutup mulutnya. Menunggu Lisa menyelesaikan penjelasannya— yang Jiyong pikir hanya alasan-alasan agar Lisa bisa menitipkan Leo padanya. "Hari ini hari orangtua dan Leo tidak mau pergi kesekolah karena semua temannya akan datang bersama appa mereka," jelas Lisa namun Jiyong tidak dapat berkomentar. Ia juga pernah berada di posisi Leo, sepertinya.

"Biarkan saja dia tidak datang, apa masalahnya bolos satu hari?"

"Ya, tentu saja aku mengizinkannya bolos sekolah hari ini tapi dia merengek ingin bermain bersamamu dan sekarang dia bilang dia membenciku karena aku tidak mengizinkannya menemuimu," ucap Lisa tanpa bisa di tahan lagi. Pagi ini Lisa benar-benar kesal karena putranya lebih senang menghabiskan waktu dengan Jiyong dibanding dengannya.

Lisa mengerti, kalau Leo lebih suka bermain dengan seorang pria dewasa lantaran ia tidak memiliki sosok ayah dalam hidupnya. Namun wanita itu tidak habis pikir karena dari seluruh pria dewasa yang tinggal di gedung apartementnya, Leo justru marah karena tidak di izinkan bertemu dengan Jiyong.

"Lalu apa yang harus ku lakukan? Kau tidak ingin aku bertemu lagi dengan putramu,"

"Katakan padanya kau akan pindah rumah atau kau sudah punya pekerjaan yang membuatmu tidak bisa menemuinya lagi,"

"Hei hei... kau yang melarang kami bertemu dan sekarang memintaku membohonginya? Kau hanya ingin menyelamatkan hidupmu sendiri rupanya," balas Jiyong membuat Lisa merasa kalau ia harus benar-benar bersabar dan berhati-hati pada pria di hadapannya itu.

"Anniyo, lupakan saja, aku tidak ingin terlibat apapun dengan masalahmu. Entah itu misi mu atau alasanmu jadi buronan, aku tidak mau terlibat. Dan... Leo masih terlalu kecil untuk kau jadikan sandera-"

"Aku tidak minta banyak darimu. Hanya beritahu aku apa yang Terius inginkan darimu. Lalu kita semua bisa hidup bertetangga dengan tenang," ucap Jiyong dengan sangat santai, seakan memang itu yang diinginkannya. "Hanya dengan informasi itu, aku akan memperlakukan Leo dengan baik dan... kalau kau khawatir, kenapa tidak memberitahu appanya dan menjaga Leo bersama dengannya?"

"Heish... shit, kenapa kau harus menyinggung masalah itu sekarang?" gerutu Lisa sembari meremas rambutnya sendiri. Lisa mengkhawatirkan Leo, ia bisa saja memberi tahu Jiyong mengenai informasi yang Terius inginkan namun ia takut Jiyong menipunya. Lisa takut Jiyong akan terus memanfaatkannya dan mengancam dengan menjadikan Leo sandera. Lisa tidak dapat menemukan informasi apapun tentang Jiyong dan semua pekerjaannya, bagaimana ia bisa mempercayai Jiyong begitu saja? Bahkan walaupun selama ini Jiyong bersikap baik pada Leo dan padanya, tapi Lisa tidak bisa mempercayainya begitu saja.

Lisa pergi kembali kerumahnya. Lisa meninggalkan Jiyong yang berpura-pura tidak peduli dengan urusan keluarga wanita itu dengan sedikit penyesalan. Menyesal karena memberitahu Jiyong masalahnya, sekaligus menyesal karena tidak sempat meminta bantuan pada Jiyong. Sebagian dari diri Lisa takut Jiyong akan melukai putranya dan sebagian lainnya berharap Jiyong dapat membebaskan dirinya dari amarah Leo.

"Ya! Leo! Mau pergi kemana?!" teriak Lisa ketika tiba-tiba Leo berlari melewatinya dan dengan lincah menyelinap di sela pintu yang belum sempat Lisa tutup.

"Samchon!! Tolong!!" jerit bocah itu ketika Lisa menarik kerah bajunya, membuat Jiyong yang baru saja menutup pintu apartementnya kembali keluar dari sana.

Jiyong mengigit bibirnya, menahan tawa melihat Lisa kewalahan mengurus putra satu-satunya itu.

"Anniyo, samchon sibuk sayang, samchon harus bekerja," bujuk Lisa yang kemudian menarik Leo kedalam gendongannya. Berusaha mendekap si bocah yang sedang berusaha memberontak dan melarikan diri ke tetangga depannya.

"Heish... sudahlah, biarkan Leo bermain denganku hari ini, aku akan memulangkannya dalam keadaan utuh nanti," ucap Jiyong yang kemudian mengulurkan tangannya untuk meraih Leo. "Kau bisa mengikuti kami kalau tidak percaya padaku, jangan menyulitkan dirimu sendiri seperti itu," lanjutnya setelah Leo menjadi lebih tenang di gendongan Jiyong. Masih terisak namun sudah berhenti memberontak dan memeluk Jiyong seerat yang ia bisa.

"Samchon... Leo tidak mau pergi sekolah," rengek Leo masih terus memeluk Jiyong, membuat Lisa menghela kasar nafasnya.

"Eomma tidak memaksamu pergi kesekolah sayang, hari ini kau boleh bermain di rumah bersama eomma. Jangan mengganggu Jiyong samchon, hm?" bujuk Lisa namun Leo tidak ingin melepaskan dirinya dari Jiyong.

"Kenapa semua teman Leo punya appa tapi Leo tidak??? Leo juga ingin punya appa seperti yang lainnya!! Eomma jahat!" rengek Leo membuat jantung Lisa seakan berhenti dan meledak didalam dadanya. Bukan kali pertama Leo merajuk karena ia tidak punya ayah. Bukan kali pertama Leo menangis karena seluruh temannya memiliki apa yang tidak di milikinya. Tapi setiap kali itu terjadi, jantung Lisa seakan berhenti berdetak. "Kalau Leo punya appa, Leo akan pergi kesekolah dengan appa! Tapi Leo tidak punya appa! Leo tidak mau pergi kesekolah! Leo mau bermain dengan samchon!"

"Arraseo, eomma minta maaf... eomma minta maaf karena melarang Leo bertemu dengan Jiyong samchon. Sekarang, kalau Jiyong samchon tidak sibuk, Leo boleh bermain dengan Jiyong samchon," ucap Lisa yang kemudian melembut. Terdengar sangat lembut bahkan hampir tidak terdengar. Leo masih terlalu kecil untuk Lisa marahi karena melukai hatinya. Leo tidak melakukan kesalahan apapun, tidak ada yang melakukan kesalahan sampai Lisa tidak dapat menualahkan siapapun selain dirinya sendiri.

Tidak ada yang dapat disalahkan, karena itu Lisa menanggapnya sebagai kesalahannya. Karena ia membutuhkan seseorang untuk di salahkan, seseorang untuk di caci maki dan seseorang untuk menanggung seluruh tanggung jawabnya— hanya dirinya, yang dapat ia salahkan, yang dapat ia caci maki dan yang dapat menanggung seluruh tanggung jawab.

"Sungguh? Samchon, apa samchon sibuk?" tanya Leo sembari menarik ingusnya dan membiarkan Jiyong mengusap wajahnya yang basah karena keringat dan air mata— setelah menangis puluhan menit karena tidak di izinkan menemui tetangga yang disukainya.

"Tentu, samchon akan menemanimu bermain. Bagaimana kalau kita bermain ditaman?"

"Ne! Leo mau bermain ditaman,"

"Kalau begitu, masuklah, ambil mantel, sepatu dan mainannya. Samchon akan menunggu disini. Masukan mainannya kedalam tas kuning, oke?" tanya Jiyong yang langsung menurunkan Leo dari gendongannya begitu bocah itu mengangguk. "Kau baik-baik saja? Kami hanya akan bermain dibawah, kau bisa mengawasi kami dari balkon," ucapnya setelah Leo berlari masuk kedalam rumah untuk mengerjakan seluruh perintah Jiyong.

"Hm... aku akan mengawasi kalian jadi jangan coba-coba melukainya," ucap Lisa, ia berniat mengancam namun justru terdengar seperti sebuah permohonan bagi Jiyong.

"Bukan salahmu, kau sudah melakukan semua yang kau bisa, kau sudah melakukan yang terbaik," ucap Jiyong sembari mengusap lembut bahu Lisa. Namun Lisa hanya tersenyum tipis kemudian menepis tangan Jiyong dari bahunya, bersamaan dengan Leo yang berlari keluar dengan membawa sebuah ransel kuning dibahunya. Bocah itu sudah memakai jacket dan sepatu birunya kemudian berlari memeluk kaki Jiyong, mengajak Jiyong untuk segera menemaninya bermain.

«●»

Midnight SecretTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang