12

1.4K 226 13
                                    

«●»

"Eomma, apa besok Leo boleh bermain dengan Jiyong samchon lagi?" tanya Leo setelah bocah itu makan malam, menggosok giginya kemudian naik ke atas ranjangnya.

"Tentu, tapi besok Leo harus pergi sekolah dulu, ya?" jawab Lisa sembari menyelimuti Leo dengan selimut tebal bergambar robot miliknya.

"Ne... besok Leo akan pergi kesekolah dan menyikat gigi lagi," jawab bocah itu membuat Lisa terkekeh mendengarnya.

"Kalau begitu sekarang Leo harus tidur agar besok bisa bermain lagi dengan Jiyong samchon," ucap Lisa yang kemudian mencium putranya. "Selamat malam..."

"Eomma... Leo ingin punya appa seperti Jiyong samchon... tidak bisakah Jiyong samchon menjadi appa?"

«●»

Lisa keluar dari kamar Leo setelah mengobrol sebentar dengan putranya. Wanita itu mematikan lampu kamar Leo kemudian menutup pintu kamarnya dan memberi Leo kesempatan untuk beristirahat semalaman.

"Leo sudah tidur?" tanya Jiyong yang saat itu masih berada di rumah Lisa. Memakai sedikit kesempatan yang di milikinya untuk mencari sesuatu di rumah Lisa yang mungkin terlewat olehnya selama ini.

"Ya, aku benar-benar berterimakasih untuk hari ini,"

"Aku tidak melakukannya untukmu, aku melakukannya untuk Leo,"

"Dan aku lebih berterimakasih karenanya,"

"Kalau begitu, kalau kau sangat memaksa untuk berterimakasih, bisakah kau membuatkan makanan untukku?"

"Lagi? Kau masih lapar?" tanya Lisa namun tetap berjalan menuju kulkasnya. "Kemarilah, apa yang mau kau makan?"

"Wah... kau baru mengisi ulang kulkasmu? Aku sempat penasaran bagaimana kau bisa membuat makanan yang sama seperti di restoran cepat saji. Leo bilang masakanmu sangat enak dan aku penasaran karenanya," komentar Jiyong sembari berjalan menghampiri Lisa. "Tapi setelah aku menjaga Leo disini, aku langsung tahu kalau kau tidak pernah memasak. Ayam, mandu, nugget, sosis, kentang goreng, sayuran beku-"

"Kenapa kau menghafal isi kulkas orang lain? Ini masih lebih baik dibanding dengan beer dan kimbab segitiga yang selalu kau beli tuan," potong Lisa. "Cepatlah, apa yang kau inginkan?"

"Buatkan aku ramyun dan tteokbokki," jawab Jiyong sembari menutup kulkas dihadapannya. Apa yang diinginkannya tidak ada di dalam sana. "Kalau bukan karena Leo, kau juga hanya akan memakai kimbab untuk mengisi perutmu, iya kan?"

"Berapa usiamu?" tanya Lisa, secara tiba-tiba sembari menunggu air mengisi pancinya. "Aku memang terlihat muda tapi, usiaku tidak semuda kelihatannya,"

"Aku sudah bekerja disini selama 15 tahun kurasa aku tetap lebih tua darimu? Kau tidak punya tattoo XX kan? Aku tidak akan percaya kau lebih tua dariku kalau kau tidak menunjukan tattoo XX mu," jawab Jiyong membuat Lisa menyesali ucapannya. Lisa benar-benar lupa soal tattoo milik Jiyong itu. "Atau kau hanya sedang beralasan untuk memanggilku oppa? Hm... kau boleh memanggilku dengan sebutan apapun,"

Ramyun matang, begitupun dengan tteokbokkinya. Lisa menghidangkan makanan itu di meja makan, didepan Jiyong sementara ia duduk di kursi lain sembari membuka sekaleng beer untuknya sendiri. Sudah lama Lisa tidak duduk berhadapan dengan seorang pria di rumahnya sendiri. Tidak ada yang berkunjung kerumahnya selain Jennie.

"Apa yang terjadi pada appanya?" tanya Jiyong yang baru saja selesai menghabiskan ramyunnya dan sekarang beralih memakan tteokbokkinya.

"Aku mengusirnya," gumam pelan Lisa sembari kembali berjalan ke kulkas untuk mengambil beer lagi. Mengambil dua kaleng beer dengan sebuah kaleng yang ia berikan untuk Jiyong. "Dia seorang penulis, cukup terkenal kalau kau membaca novel-novel romance. Kau mungkin pernah melihat atau membaca novelnya, Autumn Leaves, Interlude : Dream Reality, The Last. Kami terpaut 2 tahun, dia 2 tahun lebih tua dariku, tapi tingkahnya sama seperti remaja bodoh yang baru pubertas. Aku tidak melakukan apapun tapi dia selalu marah. Katanya aku mengganggunya, jadi aku mengusirnya,"

"Bagaimana dengan Leo? Dia membenci Leo?"

"Dia belum pernah bertemu Leo. Aku mengusirnya sebelum ia bertemu dengan Leo, sebelum Leo lahir,"

"Tapi dia tahu kalau kau hamil dan dia tidak datang kesini sekalipun?"

"Heish... mana mungkin? Kami tidak tinggal disini sebelumnya. Ini rumahku. Markasku. Sebelumnya kami tinggal di rumah kami, aku yang membelinya, atas namaku jadi aku bisa mengusirnya. Dan setelah dia pergi... bukankah melarikan diri adalah satu-satunya hal mudah dari seluruh pekerjaan kita? Aku meninggalkan rumah itu setelah mengusirnya dan dia tidak tahu tempat ini. Dia tidak akan tahu kalau aku tinggal disini,"

Jiyong menyeselaikan makanannya. Meraih gelas untuk meminum air mineral di sudut meja kemudian beralih meminum beer setelah air mineral membersihkan rasa pedas yang tersisa didalam mulutnya.

"Sebenarnya apa yang membuatmu mengusirnya? Apa kesalahannya?"

"Katanya pekerjaannya bermasalah. Katanya inspirasinya tidak bisa datang. Katanya dateline akan membunuhnya dan dia menyalahkanku untuk semua masalahnya itu. Di satu tingkat, aku bisa menyebutnya ganguan Jiwa. Dia tidak bisa mengontrol emosinya, dan mulai melempar semua barang saat marah. Hidup dengannya... ku rasa aku bisa lepas kendali kemudian membunuhnya,"

"Ah... jadi kau mengusirnya karena khawatir kau akan membunuh appa dari putramu? Keputusan bagus, kau sudah melakukan keputusan yang tepat, menjadi seorang anak tanpa appa akan lebih baik dibanding menjadi anak seorang narapidana,"

"Aku kebal hukum,"

"Tapi membunuh hanya karena dendam pribadi melanggar kode etik. Kau tidak akan di penjara di lapas biasa, kau akan di pindahkan ke pulau tahanan, di kurung dalam sel bawah tanah yang... augh... sama sekali bukan tempat yang cocok untuk wanita..."

"Sepertinya kau sudah pernah kesana," jawab Lisa yang masih berada di posisinya. Berbicara dengan Jiyong seakan mereka sudah lama saling kenal, seakan mereka sudah lama menjadi rekan kerja.

"Beberapa kali," jawab Jiyong membuat Lisa tertarik untuk menatapnya. "Mengantar dan memindahkan tahanan, jangan salah paham,"

"Kenapa kau menjadi buronan?"

"Siapa yang bilang begitu?"

"Kau bukan buronan?"

"Kau sangat berharap aku jadi buronan?"

"Anniyo, syukurlah kalau kau bukan buronan. Lalu... kenapa kau mengejar Terius?"

"Semua orang memburunya. Apa yang membuatmu mau membantunya?"

"Hm... simpati? Dia mengasuh dua anak yang baru saja kehilangan appanya. Wanita yang baru kehilangan suaminya itu, tidak punya pekerjaan yang layak. Dia punya dua anak kembar yang perlu di jaga. Kurasa aku tidak berniat menolong Terius. Aku hanya... dia masih berguna untuk wanita dan anak kembarnya itu. Begitu keadaan wanita dan anak kembar itu sudah stabil, aku ingin menangkap Terius dan mengembalikan posisiku,"

"Kenapa kau bersikap seakan kau orang baik? Kau mengusir appa dari putramu," ucap Jiyong seakan itu hanya candaan biasa. Seakan itu tidak akan melukai siapapun.

"Heish... bukan baik. Aku kasihan karena jadi ibu tunggal benar-benar seperti hukuman. Aku sempat berfikir di penjara saja akan lebih baik," jawab Lisa sembari menaruh kepalanya di atas meja. "Setiap hari kepalaku rasanya hampir pecah. Memastikan tidak lupa membayar tagihan, menyiapkan makanan, mencuci, membersihkan mainan-mainan itu, mendengarnya merengek meminta ini dan itu dan mendengarnya menangis, itu lebih sulit dibanding bekerja,"

"Itu kewajibanmu, sebagai seorang ibu-"

"Ya... itu kewajibanku, karena itu aku masih bertahan disini dan tidak melarikan diri,"

"Kalau kau sudah tidak menginginkannya, kurasa aku bisa membawanya,"

"Siapa? Leo?"

"Hm..."

"Haha dia anakku kenapa kau sangat menginginkannya? Enak saja,"

"Tsk... lihat siapa yang bicara? Kau tadi mengeluhkannya," jawab Jiyong sembari menggeleng pelan. Tidak benar-benar mengerti apa yang diinginkan wanita di hadapannya. "Leo menggemaskan, dan cukup menurut, aku bisa mengurusnya kalau kau ingin melarikan diri,"

"Apa kau mau tidur denganku malam ini?"

«●»

Midnight SecretTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang