Part 8 : Puisi 1

983 101 2
                                    

"Kanina!" Rizki memanggil sembari menepuk pelan pipiku, agar aku terbangun dari tidur.

Eh, sebentar.

Tidur?

Tadi aku tidur di sampingku ada Rizki kan?!

Aku melotot dan langsung berdiri dari posisiku semula.

Kulihat Rizki sedang bertopang dagu melihat ke arahku dengan tersenyum.

"Kayak liat setan aja lo, udah bel masuk," ucapnya lalu berdiri meninggalkan bangku Kanina.

"Kampret! Lo setannya!" balasku tak terima.

"CIYEEEE!!!!!!" Teman-teman satu kelasku serempak berteriak menggodaku.

Astaga, aku baru sadar kalau sedang menjadi pusat perhatian di kelas.

"Apasih kalian!" balasku cuek dan kembali menelungkupkan kepala.

Kali ini karena malu.

Aib muka bangun tidurku sudah menjadi tontonan gratis untuk teman-teman kelas yang hampir seluruhnya sudah memasuki kelas, termasuk Wulan dan Indah.

Sial!

Aku meraba sudut bibirku, memastikan tidak ada air liur yang tidak sengaja keluar.

Untung gue gak ngiler.

"Selamat pagi!" Suara Bu Zahra terdengar, aku langsung mengubah posisiku menjadi duduk tegak.

"Sampai mana materi kita kemarin?" tanya Bu Zahra.

"Puisi, Bu!" jawab teman-teman serempak dengan bersemangat, apalagi kaum adam.

Berbeda denganku, aku masih mengumpulkan kesadaran dari bangun tidurku.

Bu Zahra melihat ke arahku. "Kanina, kok lemes gitu?"

"Eh?" Aku kelagapan. "Anu, Bu—"

"Habis tidur sama Rizki, Bu! Makanya lemes," tukas Febri, teman satu kelasku yang dikenal Raja Sepik, jarang masuk kelas, dan suka mengusili cewek-cewek di kelas, apalagi adik kelas.

"Loh?" Bu Zahra tampak sedikit terkejut.

"HEH! KALIMAT LO AMBIGU ANJIR! KONOTASINYA NEGATIF TAU GAK!" teriakku ketus. "Bukan gitu, Bu. Tadi waktu istirahat saya ketiduran, kebetulan di samping saya ada Rizki, kita nggak ngapa-ngapain kok, Bu!" seruku menjelaskan.

Febri dan teman-teman yang lain tertawa.

"Kita gaes katanya!" teman satu bangku Febri menyahut.

"Cieeeeeee," ucap teman-temanku seakan semangat untuk memojokkanku.

"Yaiyalah, sekarang nggak boleh ngapa-ngapain, nanti aja pas udah halal. Iya nggak, Bu Manis?"

Bu Zahra tertawa pelan dan menggeleng.

"Kalian ini, semangat sekali kalau disuruh godain temen sendiri," ucap Bu Zahra.

Aku mengangguk bersemangat. "Iya, Bu! Saya jadi korban pembulian di kelas ini. Temen-temen tega Bu sama saya," ucapku mengadu dengan nada tersakiti, seakan-akan aku adalah korban yang terdzolimi.

"HUUUUUU!!!" teriak teman-temanku tidak terima dan mulai bersahutan.

"Kanina, Bu, sudah mencemarkan nama baik kelas ini."

"Iya, Bu! Nikahkan saja mereka!"

"Sudah tercyduk! Ayo gaes kita arak keliling sekolahan."

Kanina berdecak, "APASIH PARA FANS!"

"Sudah-sudah, kalian Ibu beri tugas membuat puisi. Puisi harus benar-benar ciptaan kalian ya! Tidak boleh cari di internet, apalagi mengakui karya orang sebagai karya sendiri, nggak boleh!"

Febri mengangkat tangan bertanya. "Bu, temanya bebas ya? So'alnya, Kanina bakalan buat puisi cinta-cintaan."

"Lah, kok jadi gue lagi yang kena?!"

Bu Zahra tersenyum memaklumi dan mengangguk. "Iya, bebas."

***

Panda Boy (✓) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang