Aku menatap lembaran kosong di hadapanku dengan bingung.
Aku tidak mahir membuat puisi, dan aku juga tidak tahu harus bagaimana menuliskan ide yang beberapa kali mampir ke otakku.
"Gue nge-blank anjir," desisku pelan.
Aku menengok sebentar ke bangku Rizki, keadaannya sama sepertiku.
"Eh," kagetku pelan, karena tiba-tiba saja Rizki mendongakkan kepalanya yang tadi menunduk dan melihat ke arahku.
"Apa?" tanyanya tanpa suara yang kujawab gelengan kepala.
Aku kembali menghadap ke arah lembaran kosong di hadapanku, lalu menghela napas.
5 menit berlalu, aku sudah selesai menulis puisi abal-abalku, ya ... aku hanya menuliskan apa yang aku pikirkan.
"Terlalu pendek nggak sih?" Aku menggaruk kepalaku yang tidak gatal.
"Bu Zahra!" Aku mengangkat tangan kananku untuk bertanya.
"Iya?"
"Puisinya nggak ada batasan panjang atau pendeknya kan, Bu?"
Bu Zahra menggeleng. "Tidak, Kanina. Kamu sudah selesai?"
"Sudah, Bu."
"Yasudah, nanti kamu maju duluan ya. Bacakan puisi hasil karyamu."
"Hah?" tanyaku dengan tampang cengo.
Murid-murid yang lain tertawa.
"Mamam tuh!" ejek Rizki.
Aku melihat ke arah Rizki, baru saja sumpah serapanku akan keluar, ucapan Bu Zahra membuatku terbahak.
"Rizki, kamu maju setelah Kanina."
"Mamam noh, jadi yang kedua!" ejekku balik.
Respon Rizki berbeda dari yang aku lakukan. Ia malah tersenyum manis ke arahku sembari bertopang dagu.
Lah? Kok malah gitu responnya Rizki?
Di tatap seperti itu membuatku salah tingkah dan langsung menghadap ke depan: berpura-pura berlatih membaca puisi.
Sial, Rizki bikin gue salah tingkah!
KAMU SEDANG MEMBACA
Panda Boy (✓)
Short StoryCerita ini kutulis saat aku menyukaimu, tapi aku lebih memilih mengungkapkannya dalam bentuk tulisan. Apakah kalian pernah jatuh cinta pada teman sendiri? Itu yang aku alami. Aku hanya cewek biasa-biasa saja. Namun, aku berharap bisa membuatmu meras...