"Waktu habis!" seru Bu Zahra lalu bertepuk tangan.
Mampus! Habis ini gue maju!
Aku mengembuskan napas berat, tarik napas, buang.
"Kanina," panggil Bu Zahra membuat bulu kudukku sedikit meremang dan jantungku berdegup lebih kencang.
Inikah cinta?
"Rizki, kamu siap-siap maju setelah Kanina. Kanina ayo maju."
"KA-NI-NA! KA-NI-NA! KA-NI-NA!" Teman-temanku menyoraki agar aku segera maju ke depan kelas.
Aku berdehem sebentar dan maju ke depan kelas.
"Tentang Akhir," ucapku membacakan judul.
Kulihat Febri menahan tawanya dan beberapa murid yang lain melakukan hal yang sama.
Apakah suaraku selucu itu?
Huh!
Aku mengabaikannya dan melanjutkan, "Karya Kanina Ayu."
Pandanganku terpecah antara melihat teks dan respon teman-temanku.
"Pada akhir— Pffftttt! — Bu Zahra, temen-temen ngetawain saya," ucapku mengadu.
Namun, respon dari Bu Zahra membuatku ditertawakan di depan kelas.
"Makanya, fokus dong, jangan liatin Rizki mulu!"
"HAHAHAHAHAHAHA!"
Wanjay, kok malah gini?
"Enggak, Bu!" seruku membantah.
"Udah, nanti aja kalau gitu. Rizki, maju!" suruh Bu Zahra.
"WEEE!! Cuit Cuit!!!" kelasku mendadak heboh saat aku tanpa sengaja tatap-tatapan mata dengan Rizki.
Bisa kutebak. Mukaku pasti sudah merah, terasa panas.
Rizki mengubah ekspresi wajahnya menjadi serius dan membacakan puisinya.
Rizki menunjuk ke arah hatinya. "Luka ini terus membekas, dan seterusnya."
Rizki kemudian mengepalkan tangannya di posisi sebelumnya. "Luka ini sulit untuk sembuh, dan seterusnya."
Rizki menarik napas dalam sebelum melanjutkan puisinya dan memandang ke mejaku. Hmmm, seperti sedang melihat ke arahku. "Dan seterusnya, hanya akan tentang kamu, dan kebodohanku."
Sejenak aku tertegun.
"Woooooo!!!" Tepuk tangan meriah mengakhiri pembacaan puisi oleh rizki.
Tapi, kenapa ia harus menatap ke arahku saat membaca bagian akhirnya tadi?
"Judul sama pengarangnya belum dibaca Rizki," ucap Bu Zahra mengingatkan.
Ekspresi serius Rizki berubah cengegesan. "Oiya, Bu. Lupa hehe. Judulnya Dan Seterusnya, karya Rizki Raden."
"Kamu boleh duduk."
Dan sesi pembacaan puisi diteruskan bergiliran.
***
Bel istirahat berbunyi. Setelah Bu Zahra keluar dari kelas, Wulan melihat ke arahku yang sedang mengikat rambut.
"Apa?" tanyaku.
Wulan menggeleng. "Gapapa, lama nggak pernah bercanda sama lo."
Aku tersenyum miris. "Iya."
"Besok gue ke rumah lo, boleh?"
"Boleh!" Aku mengangguk bersemangat.
"Oke, gue ke kantin dulu," pamitnya yang kujawab dengan anggukan.
Merasa Wulan yang masih belum juga beranjak. Aku menatapnya. "Kenapa?"
"Gue gemesssss!!!!" ucapnya lalu mengacak-acak rambutku yang sudah aku atur.
"KAMPRETTT!!! WULANNNN!!!"
"Hahaha!" Wulan berlari keluar kelas.
Aku melihat pantulan wajahku di ponsel.
"Anjirr, begini amat ya?
Tiba-tiba, ponsel di tanganku bergetar.
Pesan dari Rizki.
Lah, ngapain di ngirim pesan? Eh. Ngirim foto.
Ini yang gue bilang di VC kemaren. Ekspresi liat kamu gandengan sama cowok lain, Lan.
HAHHHH?!!!!
Aku melotot kaget.
Lan? VC? Sama cowok lain? Dia salah kirim kan ya? Mau kirim ke siapa? Maksudnya apaan sih ini? Sengaja atau gimana? Lan siapa? Wulan?
***
HAYOLOHHHH, SIAPAKAH 'LAN'?
Vote dan komen ditunggu.
❤️
KAMU SEDANG MEMBACA
Panda Boy (✓)
Short StoryCerita ini kutulis saat aku menyukaimu, tapi aku lebih memilih mengungkapkannya dalam bentuk tulisan. Apakah kalian pernah jatuh cinta pada teman sendiri? Itu yang aku alami. Aku hanya cewek biasa-biasa saja. Namun, aku berharap bisa membuatmu meras...