Part 18 : Flashback

911 88 1
                                    

Dia tidak salah, aku yang salah menafsirkan. Dia tidak bermaksud apa-apa, aku saja yang terlalu bawa perasaan.

***

Malam ini, aku duduk termangu di depan meja belajarku. Lagu dari band Padi yang berjudul Kasih Tak Sampai terus terputar dari ponselku.

Sudah hampir seminggu aku berusaha baik-baik saja di hadapan semua orang perihal hubungan Rizki dengan Wulan, tapi aku tidak bisa membohongi diriku sendiri.

Sakit, sungguh. Pura-pura bahagia melihat orang yang kita cintai bahagia sama temen sendiri.

"Kanina, mau bakso?" tanya Alan; keponakan laki-laki yang paling dekat denganku sekaligus tempat curhatku.

Aku sering curhat tentang Rizki padanya, tapi aku menyebut Rizki sebagai Panda Boy, Alan tidak tahu siapa Panda Boy aslinya.

Aku menggeleng lemah.

"Lo kenapa?" tanyanya dan duduk di pinggiran kasurku.

"Hah? Gue nggak apa-apa," jawabku kaku.

"So'al Panda Boy?" tanyanya lagi, aku mengangguk.

"Panda Boy jadian sama sahabat gue."

"Udah gue tebak," ucapnya membuatku melebarkan mata kaget.

"Kok?"

"Panda Boy jadian sama sahabat lo yang tiba-tiba menjauh itu kan? Apa lo sedikit pun nggak ngrasa aneh sama dia?"

"Sedikit pun gue nggak nyangka kalau Panda Boy jadian sama dia. Terus, kedekatan gue sama Panda Boy selama ini disebut apaan? Apa dia cuman bercanda tapi gue baper?"

"Dia yang salah, kenapa dia ngasih lelucon yang bikin lo baper kalau emang nggak ada niatan buat tanggung jawab?"

"Entahlah, Lan."

"Lo tahu nggak? Kalau gue lagi galau, biasanya gue nulis buat lampiasin perasaan gue. Lumayan kan? Berkarya juga."

"Lo mau kemana?" tanyaku saat melihat Alan berdiri.

"Biasa, nemuin Ibu Negara, lagi kangen gue."

Aku terkekeh singkat. "Ibu Negara? Si Rara maksud lo?"

"Iyalah. Calon istri gue," ucapnya sembari berjalan menuju pintu.

"Seneng ya, cinta lo nggak bertepuk sebelah tangan."

Sebelum menutup pintu, Alan berkata lagi, "Makanya cari orang yang tepat. Jangan cari orang yang doyan gombal tapi tindakannya nol persen, cari yang sekiranya dia bakalan menetap, bukan hanya singgah."

"Singgah atau menetap itu pilihan," ucapku seraya tersenyum.

"Nah itu tau. Yaudah gue pergi dulu. Jangan galau terus. Sedih secukupnya, bahagia secukupnya, yang berlebihan itu nggak baik."

"Apasih lo, sok bijak."

Alan tertawa. "Kan calon motivator ternama."

"Serah lo, pergi sana."

Diiringi kekekah, ia menutup pintu.

Kini aku sendiri, kali ini terasa lebih lega dari sebelumnya. Sepertinya aku harus mentraktir Alan sekardus mie instan karena sudah memberikan wejangan malam ini.

Aku mengeluarkan sebuah buku dan mulai menuliskan sebuah surat, untuk Rizki.

***

Panda Boy (✓) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang