BAGIAN DUA PULUH

25.5K 1.4K 39
                                    

Malam telah tiba, Kiran masuk kedalam kamar anak-anak. Disana, dia melihat Austin dan Audy yang entah karena apa memutuskan untuk tidur disatu tempat tidur yang sama dengan keberadaan Gabriel ditengah mereka.

Tangan mungil sikembar memeluk Gabriel protective, seakan itu adalah pelukan terakhir mereka. Dan itulah yang terjadi saat ini.

Kiran tidak bisa membiarkan perasaannya berlarut-larut. Dia memang amat menyeyangi anak-anak Alvin dari pernikahan terdahulunya, tapi saat ini perasaan sayang itu harus enyah. Dia tidak boleh lagi lemah pada perasaannya.

Dengan langkah pasti, Kiran melangkah mendekati tempat tidur, dengan perlahan memindahkan tangan Austin dan Audy yang saling tumpang tindih diatas perut gembul Gabriel.

"Maafkan Mama, Mama tidak bermaksud memisahkan kalian. Mama sayang kalian. Si cerewet dan si dinginnya Mama. Kalian harus tumbuh menjadi anak yang baik dan bertanggung jawab. Mama sayang kalian nak."

Kecupan Kiran pada dahi Austin dan Audy seiring dengan turunnya air matanya. Meski tak begitu lama mengenal sikembar, berat rasanya saat harus meninggalkan anak-anak ini.

Perlahan Kiran memindahkan Gabriel kedalam gendongannya, susah payah menahan isakannya. Dia bisa melihat bagaimana Gabriel menjadi kesayangan si Kembar.

"Mulai malam ini, kalian semua harus terbiasa hidup tanpa satu sama lain. Maaf nak, Mama tidak punya pilihan lain. Mama nggak mau kamu jadi benalu dikeluarga ini."

Setelah memantapkan hatinya, Kiran meninggalkan kamar si Kembar dan bergegas menuruni tangga menuju lantai satu.

Dia tidak butuh dan tidak perlu melihat serta pamit pada sibungsu Emi. Karena jika dia melakukannya, yang ada dia akan tersiksa karena rasa sulit untuk melepas anak-anak Alvin dan mendiang Riska yang sudah dia anggap sebagai anaknya sendiri.

Pergi dari rumah inipun, Kiran hanya membawa pakaian yang memang dibelinya dengan uangnya sendiri, begitu pula dengan pakaian Gabriel.

Tidak ada satu barangpun yang berkaitan dengan Alvin yang dia bawa.

"Aku mencintaimu Mas, tapi sepertinya cintaku tidak cukup kuat untuk membuatmu melihatku dan anak kita. Aku pergi, aku titip anak-anak."

Bisik Kiran pelan saat tangannya meraih gagang pintu utama. Untuk terakhir kalinya, Kiran menengok kebelakang, melihat baik-baik rumah yang menjadi tempat tinggalnya beberapa hari ini.

"Saat kamu melangkahkan kakimu keluar dari rumah ini. Maka semuanya akan berubah Kiran, lihat rumah ini baik-baik. Karena kamu pasti akan merindukannya."

Tanpa Kiran sadari, sepasang mata mungil menatapnya sedih dibalik pintu sebuah kamar.

"Tante Ki.."
*
*
*

"Huaaaaaaa, Mama..mama..mamam huaaaaaaaa Hiksss hiksss Ma.."

Tangisan balita menjadi penyambut pagi dikediaman Haling. Yah, siap lagi jika bukan tangisan sibungsi Emi Gloria Haling.

Alvin memejamkan matanya sejenak, demi apapun, dia baru bisa tidur pukul 1 dini hari, dan pagi ini harus dihadiahi oleh tangisan putrinya sendiri.

Ingin rasanya Alvin berteriak marah, sungguh dia sangat kacau, tidak bisakah putrinya ini mengerti.

"Emi diam dong nak, Papa capek lihat Emi nangis terus, apa Emi nggak capek hmm ?" Tanya Alvin pada Emi yang hanya dijawab dengan gelengan kepala serta tangisan yang tak kunjung berhenti.

"No Pa No.. Ma mama Hiksss Mama.."

Alvin memutuskan untuk menggendong anak bungsunya keluar kamar. Mungkin suasan luar akan membuat anaknya berhenti menangi. Sejenak, Alvin melirik sebuah dot bayi diatas nakas tempat tidurnya.

✅Cinta yang UTUH [END] ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang