BAGIAN DUA PULUH DELAPAN

26.3K 1.3K 8
                                    

Kiran melangkah dengan ragu, kedua tangannya saling meremas satu sama lain. Bahkan, Kiran bisa merasakan telapak tangannya berkeringat saking gugupnya. Berkali-kali bibir tipis yang dipolesi lipstik merah muda itu menghembuskan napas dengan gusar.

Alvin Stevano Haling. Pria gagah dengan senyum menawan itu hanya bisa menahan geli ketika melihat bagaimana gugupnya wanitanya saat ini. Wanitanya ? Cih, Alvin masih ingat bagaimana dia berniat melepas wanita itu beberapa bulan lalu. Tapi kini, menyebut Kiran dengan sebutan wanitanya terasa sangat menyenangkan. Banyak hal yang berbeda dari dirinya, dan Alvin bisa menyadari itu.

Merasa sudah cukup mengamati istrinya yang sudah berjarak beberapa meter dari posisinya, Alvin berlari kecil menyusul Kiran. Menggenggam sebelah tangan istrinya begitu dia berdiri dan berjalan beriringan dengan Kiran.

"Nggak perlu gugup. Ada aku, semuanya akan baik-baik saja." Ujar Alvin menenangkan Kiran.

Sebuah senyum kecil diberikan Kiran pada suaminya itu, kemudian berkata, "Gimana aku nggak gugup Mas, ini pertama kalinya sejak kejadian itu aku bertemu dia lagi. Aku masih segan, takut dia tidak suka dengan kehadiranku nanti."

"Tenanglah, aku sudah berbicara banyak tentangmu padanya saat aku kemari. Aku juga sudah meminta maaf atas semuanya, dan aku rasa dia tidak akan marah ataupun kecewa."

.
.
.
.
.

Kediaman Atmaja tidak pernah seramai ini sebelumnya, suara langkah kaki yang menggema diiringi pekikan girang mendominasi ruang keluarga Atmaja.

Sang Nyonya dan Tuan rumah tak mampu berkutik ataupun melarang, pasalnya mereka sendiri amat menyukai suasana seperti ini.

Anak lelaki kecil yang bertubuh berisi sepertinya menjadi yang paling antusias. Terbukti dengan kaki kaki mungil tanpa alas miliknya selalu berlarian kesana kemari sambil menenteng sebuah mainan khas anak lelaki. Sedangkan anak lelaki dan perempuan yang berusia lebih tua darinya kini terlihat melompat-lompat riang diatas sofa lembut nan empuk dihadapan sang pemilik rumah.

Balita berusia 9 bulan yang sudah amat mahir dalam merangkak juga sepertinya tak ingin kalah dari kakak-kakaknya. Meski dia kini berada dalam pangkuan kakeknya, tak mengurangi aksi brutalnya yang melonjak riang dan berteriak.

"Huaaaaaaaa, Udy senang banget. Udy akhilnya punya kamal sendili. Yeyyyyyy."

Santi Atmaja dibuat tertawa karena pekikan riang itu, terlebih saat cucu lelakinya juga menyatakan kesenangannya karena kamar baru yang mereka dapatkan semalam.

Austin Pradipta Haling, usianya akan menginjak angka 4 bulan depan. Mungkin karena lelah, bocah tersebut menghentikan aksi lompat-lompatnya, turun dari sofa kemudian menghampiri adik lelakinya yang kini berjalan pelan kearahnya.

"Iyel jangan lali-lali, nanti jatuh." Nasehatnya yang hanya disenyumi oleh sang adik.

"Ingat ya, Iyel gak boleh lali-lali, nanti kalau jatuh sakit kakinya."

Berbeda saat teguran pertamanya, kini Austin terlihat mulai tegas. Tampak jelas pada tindakannya kala menegur sang adik, dengan mata melotot juga jari telunjuk yang menunjuk arah lantai dan lutut sang adik secara berganti.

"Da Bang Utin aga Iyel, di Iyel ali-ali boyye," kilah Gabriel.

Audy pada dasarnya merupakan anak dengan rasa penasaran tinggi juga rasa cemburu yang tinggi, secara cepat melompat turun dari sofa dan menghampiri saudaranya. Semua yang dia lakukan tidak luput dari perhatian Oma dan Opa mereka yang kini mengerutkan keningnya bingung dengan tingkah Audy.

"Loh, Abang sama adek Gab ngomong apa sih, kok gak ajak Udy."

Menghela napas bosan, Wiranto terkejut kala melihat cucu lelakinya menghela napas kasar kala mendengar protesan kembarannya yang terkenal dengan kecerewetannya itu.

"Sudah, gak enak kalau berdebat sayang. Sini duduk dekat Oma." Tegur Santi sebelum Austin membalas perkataan adiknya dengan ketus.

Saat ketiga kepala berbeda itu mendengar suara Oma mereka, lantas saja keduanya berlari cepat karena memang jarak mereka dan Oma mereka cukup jauh. Menyisakan Si Sulung yang kembali berteriak. "Iyel udah Abang bilang jangan lali-lali !"

Meski begitu, dia tetap menyusul kedua adiknya yang kini sudah duduk manis disofa. Tiba didepan adik bungsunya yang berada dalam pangkuan sang kakek, Austin tampak celingukan mencari sesuatu ah ralah, dia sedang mencari kedua orang tuanya yang tidak dia lihat sejak keluar dari kamarnya.

"Opa, Mama sama Papa mana ? Kok Ustin nggak lihat meleka dali tadi ?"

"Mama sama Papa kamu pergi sebentar." Jawab Santi sekedarnya menatap sang cucu. Selebihnya biar anak dan menantunya yang akan menjelaskan kepergian mendadak mereka pagi ini.

"Kemana ?" Kini giliran si cerewet yang mulai mengeluarkan pertanyaannya.

"Rahasia, Mama sama Papa kalian nggak bilang. Nanti tanya Mama Papanya yah kalau mereka sudah pulang. Sekarang kita kerumah Kakek Nenek Haling. Opa sama Oma belum pernah ketemu mereka." Ajak Wiranto mengalihkan perhatian si kembar. Dan berhasil, kedua cucu nya itu berseru senang begitu mendengar ajakannya.

.
.
.

Sampai ditempat tujuan mereka, Alvin melepas genggaman tangannya pada Kiran, membiarkan istrinya menyapa dan berbicara dengan yang mereka kunjungi secara spesial.

Kiran sendiri menghela napas sejenak sebelum berjongkok dan meletakkan bunga Lili putih yang dirangkai sedemikian rupa diatas gundukan tanah tersebut.

"Assalamualaikum Mbak, ini aku Kiran."

Menatap pusara tersebut, "Maaf baru bisa datang sekarang dan tidak membawa anak-anak Mbak Riska. Maaf sudah membuat Mas Alvin melupakan janjinya pada Mbak, dan maaf kalau kehadiran aku ditengah tengah keluarga Mbak Riska membuat Mbak merasa kurang nyaman."

Mata Kiran sudah menunjukkan tanda-tanda akan menangis, hal yang membuat Alvin lantas ikut berjongkok disamping istrinya dan mengelus punggungnya. Memahami apa yang kini tengah dirasakan oleh istrinya.

"Maaf juga karena sudah berani menyimpan rasa untuk suami Mbak Riska, a-"

"Aku ini juga suami kamu, suatu hal yang wajar jika seorang istri menyukai suaminya." Potong Alvin menatap Kiran.

Tak terima kalimatnya dipotong, Kiran menyentakkan tangan Alvin yang berada dipunggungnya. "Aku lagi bicara sama Mbak Riska, Mas Alvin jangan ganggu dong." Dengus Kiran.

"Assalamualaikum Ki, aku menepati janji untuk membawa Kiran kemari, tapi maaf belum bisa membawa anak-anak, mereka sedang bermain dengan Opa dan Oma mereka."

Mengabaikan tepisan istrinya, Alvin beralih menggenggam tangan Kiran. "Aku ingin meminta restumu untuk mengarungu bahtera rumah tanggaku dengan Kiran. Bukan berarti bahwa aku mulai melupakan kamu, untuk selamanya kamu akan tetap hidup dihati aku, tapi-"

Alvin menatap Kiran yang menunduk kala mendengar bahwa Alvin masih mencintai Riska. "Sepertinya aku mulai mencintai Kiran, istriku, ibu dari anak-anak kita dan anak-anakku dengannya nanti."

Tubuh Kiran menegang kaku. Alvin mencintainya ? Tidak ini pasti mimpi, tapi meski ini mimpi, Kiran tidak ingin terbangun. Hal ini terlalu indah untuk menjadi mimpi.

"Ini bukan mimpi. Aku mencintai kamu, aku ingin mengungkapkan perasaanku dengan Riska sebagai saksinya, agar kamu tidak lagi meragu pada perasaanku. Riska memang selalu hidup dihatiku, aku tidak akan melupakan dia karena bagaimanapun dia adalah ibu dari anak-anakku. Tapi kamu adalah masa depanku, aku pernah bilang bahwa kita akan memulai semuanya dari awal. Itu sebabnya aku mengungkapkan perasaanku disini."

.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.

Tinggal beberapa Part lagi nih. Semoga kalian suka, jangan lupa vote comennya. Kalau ada yang mau ditanyakan bisa chat saya kok.

Byebye.......

✅Cinta yang UTUH [END] ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang