BAGIAN DUA PULUH SEMBILAN

27.3K 1.2K 24
                                    

Maaf yah karena terlalu lama untuk up part terbaru, itu dikarenakan cadangan cerita pada draf sudah habis dan saya harus membuat partnya lagi. Tenang aja untuk seterusnya sampai cerita ini selesai, insya Allah tidak ada keterlambatan Up.

Let's read aja.

.
.
.

Alvin tidak tahu bahwa semuanya akan semelegakan ini, mengungkapkan perasaannya pada Kiran dihadapan nisan mendiang istrinya entah kenapa menimbulkan kebahagiaan tersendiri. Bahkan menggenggam jemari Kiran saat ini terasa lebih berharga dari sebelumnya.

"Maaf membuat kamu menunggu terlalu lama." Ujar Alvin menatap Kiran yang berjalan beriringan dengannya.

Menghentikan langkahnya, Kiran balas memandang suaminya dengan kening berkerut bingung.

"Membuat kamu menunggu terlalu lama untuk memastikan perasaanku, membuat kamu dan Gabriel menunggu untuk sebuah status dan pengakuan pada publik. Dan terima kasih karena memberiku kesempatan untuk memperbaiki semuanya." Jelas Alvin seolah mampu membaca raut wajah tak mengerti Kiran.

Hanya senyum yang bisa Kiran tunjukkan pada Alvin, dia tidak tahu harus menjawab apa karena dia sendiripun juga tidak mengerti dengan apa yang sudah terjadi. Hanya menjalani semuanya dan membiarkannya mengalir, itulah yang selama ini Kiran lakukan, tanpa menuntut apapun dari sosok yang kini memandangnya tulus.

"Tida perlu berterima kasih dan meminta maaf, setidaknya kamu sudah memberiku kepastian."

"aku yang harusnya mengatakan itu."

Mereka terdiam cukup lama, saling memandang satu sama lain. Perlahan, Alvin mendekatkan wajahnya kearah wajah Kiran, memejamkan matanya begitu dia bisa merasakan hembusan napas Kiran pada wajahnya. Sedikit lagi maka kedua bibir itu akan bertemu. Siapapun ingatkan mereka bahwa mereka masih berada disekitar pemakaman.

"Eeehh Mas, kita harus pulang. Kasihan anak-anak belum liat kita sejak pagi."

Suara dan juga tepukan pada dadanya membuat Alvin menghentikan niatnya untuk mencium Kiran. Tersenyum kecil saat Kiran melepas tautan tangan mereka dan berjalan cepat menuju mobil mereka yang terparkir tak jauh dari posisinya saat ini. Yah, tersenyum bodoh pada dirinya sendiri. Untuk pertama kalinya dia hampir lepas kendali di tempat umum.

"MAS, buruan. Kasian anak-anak."

Mendengar seruan Kiran, Alvin hanya mengendikkan kedua bahunya acuh. Memasukkan kedua tangannya kedalam saku celana jeans yang dipakainya lalu berjalan santai kearah istrinya yang kini mengerucutkan bibirnya lucu.

"Anak-anak ada dirumah Mama, tadi Papa Wiranto WA aku kalau Mama Santi ngajakin anak-anak kerumah. Sekalian silaturahmi sama besannya."

Ujar Alvin yang membuat Kiran membelalakkan matanya tidak percaya.

"Papa WA kamu ? Loh, bukannya aku ini anaknya, kok yanh dikasih kabar kamu sih ?" Dengus Kiran yang kekesalannya makin menjadi-jadi. Dia dan orang tuanya baru saja bertenu setelah terpisah sekian lama, dan ayahnya memberi kabar pada suaminya bukan padanya ? Kiran tidak bisa mempercayai ini.

"Kamu nih cemburuan banget, tadi Papa bilang dia udah coba telpon sama WA kamu, tapi kamu nggak respon. Udah masuk sana, kita kerumah."

Selama dalam perjalan pulang, baik Alvin ataupun Kiran sama sekali tidak ada yang membuka suara, mereka berdua larut dalam fikiran masing-masing. Tapi meski begitu, baik Alvin ataupun Kiran sama sekali tidak merasa kediaman mereka ini canggung, lain dari biasanya, justru kediaman mereka terasa hangat. Entah, mungkin efek dari pengungkapan perasaan keduanya.

"Mas, kamu udah tau kan kalau Mbak Fio hamil ?" Tanya Kiran membuka suara, masih tanpa melihat wajah suaminya, pepohonan juga bangunan tinggi di pinggir jalan lebih menarik perhatiannya.

✅Cinta yang UTUH [END] ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang