Kesalahan Kedua

6.7K 545 32
                                    

Beam POV

Aku menatap foto hasil ultrasoundku. Dia hampir berumur dua bulan. Hanya sebuah gumpalan kecil. Pada dasarnya aku penasaran bagaimana dia bisa hidup di luar rahim. Tapi secara ajaib dia membentuk selaput sendiri yang memungkinkannya untuk hidup dan memperoleh makanannya. Aku menatapnya lekat. Tidak tahu harus merasakan seperti apa.

"Bagaimana perasaanmu?" Tanya kit. Aku mengalihkan pandanganku dan menatap kit. Aku tersenyum

"aku baik-baik saja" jawabku.

Kit cemberut "Tapi kamu tidak terlihat baik-baik saja. Kapan terakhir kali kamu bercukur?" tanyanya. Aku tertawa.

"Aku akan melakukannya nanti oke" jawabku. Itu jika aku tahan mencium bau krim cukur.

"Dengar beam. Aku dan Phana sudah membicarakan ini, jika kamu mau, kamu bisa tinggal denganku atau Phana"

Aku menatap kit sesaat.

"Aku baik-baik saja oke. Aku seorang dokter. Aku tahu keadaanku sendiri" ujarku. Kit berdecak dan menatapku kesal.

"Ini bukan untukmu saja tapi juga bayimu" ujarnya.

Aku terdiam dan menatapnya sekilas

"Aku...akan memikirkannya" jawabku.

Kit bernafas lega.

"Sorry" ujarnya tiba-tiba. Aku menatapnya bingung.

"Karena aku kamu-"

Aku tertawa "Aw...kita sudah membicarakan ini dan aku sudah menandatangani surat kesediaan sebagai relawan. Lagi pula aku melakukan ini demi ilmu pengetahuan. Berhenti merasa bersalah"

Kit menatapku dan mendesah. Dia menyandarkan punggungnya di kursi dan memijat kepalanya.

"Andai saja kita bisa menemukan pria itu" ujarnya.

Aku tertawa "So what? Aku tidak bisa datang padanya dan mengatakan 'hei...kamu akan menjadi seorang ayah'" jawabku "bagaimana jika dia sudah berkeluarga atau dia tidak siap berkeluarga?"

Kit memandangku

"tapi Kamu tidak bisa melakukan ini sendirian" ujarnya

"Aku tidak sendirian kit" ujarku "Aku punya kamu, phana, ming dan wayo"

Kit mendesah "Benar. Tentu saja" ujarnya. Aku tersenyum dan bangkit dari tempat dudukku.

"Thanks" ujarku sebelum meninggalkannya.

Aku berjalan keluar dari ruang praktek kit dan menyusuri lorong disepanjang lantai 5. Aku berhenti sejenak ketika melihat ruang perawatan bayi. Secara menakjubkan setiap hari ruangan bayi selalu dipenuhi pasien baru. Aku mengamati para bayi satu persatu, mereka terlihat sangat rapuh dan ringkih.

Ketika aku menjadi relawan dalam penelitian professor Suresh aku tidak pernah membayangkan kalau percobaan ini akan berhasil. Tubuh manusia begitu rumit. Bahkan untuk menggerakkan sebuah jari, kita melibatkan banyak sistem jaringan tubuh. Apa lagi membentuk sebuah sel menjadi sebuah makhluk hidup. Bahkan Darwin akan bangkit dari kuburnya jika dia membaca hasil riset kami.

"Mereka lucu bukan?" suara Phana membuyarkan lamunanku. Aku menatap dia yang berdiri disampingku. Aku mengangguk pelan.

"Kamu sudah menemui kit?" tanyanya. Aku kembali mengangguk.

Phana berjalan mendekat ke arah jendela kaca.

"Aku sudah bicara pada Pho. Kamu tidak perlu mengkhawatirkan pekerjaanmu" ujarnya. Aku menatapnya tanpa mengatakan apapun.

"Tentu saja aku tidak mengatakan kondisimu" dia menolak menggunakan kata hamil bagiku.

"Bukankah kamu ingin belajar onkologi? Kamu ingat Professor Philips. Dia sekarang adalah kepala Pusat Kanker Kimmel John hopkins. Jika kamu setuju aku akan menceritakan kondisimu padanya. Pada triwulan terakhir kamu bisa berangkat ke Amerika. Dia akan membantumu dan aku mengatakan pada Pho kalau kamu akan mengambil spesialis onkologi disana. Pho terlihat senang. Dia bahkan sangat bersemangat untuk membuat pusat kanker di rumah sakit ini dan memberikan posisi kepala kepadamu kelak"

The UnwantedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang