Kesalahan Kelima

6.2K 512 26
                                    

Forth POV

Aku memimpikan hal yang sama setiap aku menutup mataku. Mimpi tentang malam itu. Mimpi tentang dia

***** satu setengah bulan lalu ******

"Forth, apa kamu bebas malam ini?" tanyanya.

Aku sedang mengendarai mobilku ketika ibuku menelponku

"Tidak" jawabku malas. Aku tahu jika ibuku menelpon maka itu pertanda tidak baik.

"Kami butuh bantuanmu" ujarnya tidak mempedulikan nada keberatan dalam suaraku "Menteri kesehatan akan memberikan penghargaan atas sumbangsih keluarga kita dalam pembangunan rumah sakit kanker. Papa dan Mama tidak bisa hadir karena kami harus ke New York malam ini jadi, bisakah kamu mewakili kami?" pintanya.

Aku menatap kesal ke handphoneku.

"Apa aku punya pilihan lain?" tanyaku.

Ibuku tertawa "Tidak. Ma sudah mendaftarkanmu dan mereka sudah mengirimkan undangannya. Ma akan mengemail undangannya" ujarnya.

Aku menggeleng dan menatap mail yang masuk.

"Mereka sudah menyediakan kamar dan Ma sudah menyediakan jas untukmu, jadi have fun. Love you" ujarnya sambil menutup telponnya.

Aku mendesah dan memutar mobilku ke alamat yang tertera di undangan. Aku datang ke acara dengan pakaian kantorku. Acara Charity event dan malam penghargaan hanyalah kamuflase bagi orang kaya untuk mengadakan pesta. Jika dipikir, biaya mereka untuk mengadakan pesta ini sendiri bisa dipakai untuk membangun sebuah fasilitas kesehatan beserta alat kesehatannya.

Aku mendesah dan mencoba menikmati acara ini. Tapi selain minumannya semua terasa membosankan. Setelah menjalankan tugasku, menerima penghargaan dan mengucapkan dua tiga patah kata candaan di atas panggung, aku duduk ditempatku dan memandang sekitarku. Rata-rata adalah kumpulan para dokter peneliti, pengusaha, dan para pejabat negara. Kalau pun aku menemukan wanita cantik dan seksi, mereka sudah memakai cincin di tangan mereka. Jadi aku menghabiskan malam dengan minum di kursiku sambil menjawab pertanyaan tamu undangan disebelahku dengan malas.

Pukul 9 aku memutuskan untuk kembali ke apartemenku. Tapi sepertinya aku minum cukup banyak karena aku sedikit pusing sehingga aku menyenggol seseorang yang sedang berjalan ke arahku.

"Shiaaa!" umpatnya ketika noda merah menggenanggi bajunya. Aku menatapnya panik.

"Sorry....apa kamu baik-baik saja?" ujarku sambil mengambil serbet dari atas meja dan membersihkan noda di bajunya.

"Jika kamu bertanya soal ragaku, maka jawabannya aku baik-baik saja tapi jika kamu bertanya soal perasaanku. AKU SANGAT TIDAK BAIK-BAIK SAJA" ujarnya kesal "dan berhenti membersihkan kemejaku. Kamu membuat nodanya semakin menyebar" dia cemberut.

Aku menatapnya bersalah.

"ck...sekarang aku harus membeli jas baru untuk ke acara besok. Benar-benar sial" umpatnya. Aku menatapnya yang sedang mengibaskan kemejanya.

"Aku bisa memberikanmu jas" ujarku tanpa pikir panjang. Dia memalingkan wajahnya dari kemejanya ke wajahku.

"Aku memiliki jas cadangan" tambahku.

Dia tertawa "Tidak terima kasih" ujarnya sambil bersiap meninggalkanku. Tapi aku menarik tangannya. Aku tidak suka berhutang pada orang lain. Lagi pula, jas itu pemberian ibuku. Aku tidak akan menggunakannya.

"Hei apa yang kamu lakukan?" ujarnya kesal sambil mencoba menarik tangannya dariku. Tapi aku berhasil membawanya masuk ke lift. Dia menatapku cemberut.

"Jangan khawatir. Aku tidak pernah menggunakannya" aku mencoba meyakinkannya. Dia menatapku curiga untuk beberapa saat tapi kemudian berdecak.

"Baiklah. Tapi aku hanya meminjamnya. Aku akan mengembalikannya padamu jika sudah selesai" ujarnya.

The UnwantedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang