Gue membuka kerutan hoodie yang hampir menutupi seluruh kepala setelah gue bener-bener berada jauh dari kafe.
Gue duduk di bangku panjang yang persis berada di bawah lampu jalan sendirian dengan lemas dan tak cukup bertenaga.
Ucapan Jojo tadi terus terngiang-ngiang dikepala gue, bahkan setiap kejadian dari awal gue mengejar dia pun ikut hadir dalam pikiran gue.
Semua ucapan Ayah waktu itu ternyata ada benarnya, ketika gue membulatkan tekat untuk mengejar cintanya Jojo gue gak ngukur sejauh mana kemampuan gue dan melihat faktor penghalang apa yang ada di depan mata. Gue terlalu percaya diri bahwa gue pasti bakal mampu menaklukan dia. Nyatanya sekarang realita yang terpampang dihadapan gue gak semudah dan segampang yang gue kira.
Sakita hati sudah jelas, apalagi dia menceritakan bagaimana dia kesal, risih dan bencinya itu ke gue ke temen-temennya yang mereka itu gak tau gue yang sebenernya. Dengan begitu Jojo secara gak langsung membangun image gue yang buruk di mata mereka.
Gue terima kalau dia mau marah, kesal, risih bahkan sampai benci ke gue. Tapi satu hal yang paling gue gak suka, yaitu mengumbar ujaran kebencian kepada orang lain apalagi orang lain yang asing, yang gak tau apa-apa, yang gak tau duduk permasalahannya apa.
Gue merasa sekarang martabat gue direndahkan dia. Cukup gue dikasari dia dengan kata-katanya yang formal itu, cukup gue ditolak dia dengan sikapnya yang sangat luar biasa itu.
Gue kali ini memutuskan untuk menyerah, menyerah untuk mengejar cintanya. Menyerah bukan berarti gue udah gak sanggup. Jujur kalau gue gila, gue bisa aja dan sanggup dapetin cintanya dia dengan catatan kalau gue akan melakukan hal yang di luar batas, membolehkan segala sesuatu yang sebenernya itu salah. Tapi gue masih waras sewaras-warasnya. Gue masih bisa membedakan mana yang harus gue kejar dan mana yang harus gue tinggalkan.
Gue memejamkan mata dan menengadahkan kepala, kemudian memandang sinar lampu berwarna kuning yang menyoroti wajah gue. Bahkan malam ini bintang dan bulan pun gak ada sama sekali, cuma lampu ini yang bersinar.
"Ayah Ibu jemput Egi di sini, Egi mau pulang aja" gue berbicara sendiri masih sambil asik memandang langit gelap.
Kemudian gue mengecek jam di layar hp. Sekarang udah hampir jam sembilan malem, tapi Shanju gak kunjung nyamperin gue atau nanyain gue ada di mana. Padahal gue udah hampir satu jam lebih sendiri tanpa dia.
Gue memutuskan untuk kembali saja ke kamar hotel. Mungkin tidur adalah pilihan yang lebih baik.
Melewati sebuah gazebo kecil di samping bangunan hotel, gue melihat Shanju dan Jojo sedang berdua di sana. Gue gak tau drama bertajuk apalagi yang akan gue saksikan malam ini.
Gue menghentikan langkah kaki gue sebelum melewati gazebo itu.
Tadi gue baru aja bilang kalau gue cukup dikasari dan ditolak dia dengan kata-kata dan sikapnya. Tapi gak tau kenapa gue masih ingin tau aja apa yang dibicarakan mereka yang pastinya dan gue jamin ini akan membuat gue sakit hati lagi.
Gue berdiri di samping pohon setinggi badan gue yang memanjang menyerupai tanaman labirin. Sambil memasang telinga untuk mendengarkan mereka berdua, gue memasukan tangan ke dalam saku sweater karena semakin malam cuacanya makin dingin bahkan hidung gue mulai berair.
"Kamu kenapa nangis? Siapa yang bikin kamu nangis?" Jojo bertanya ke Shanju.
Sebentar, Shanju nangis? Dia kenapa nangis? Gue jadi penasaran.
"Gak kenapa-kenapa Jo" jawab Shanju yang gue dengar dengan suara bindeng khas orang habis menangis.
"Kamu bilang aja ke aku ada apa"
KAMU SEDANG MEMBACA
The Pursuit of Love (Completed)
FanficAkhirnya Selgie, gadis yang hiper aktif, absurd dan sedikit gila berada pada titik menyerah dalam mengejar cinta seorang Jojo. Karena Jojo tidak cukup baik yang Selgie kira. Kata-katanya tenyata selama ini menyakiti hatinya, bahkan mampu membuka mat...