TPoL 30

3.6K 402 87
                                    

Hari ini akhirnya pun tiba. Hari di mana sebuah perpisahan yang tak pernah gue bayangkan sebelumnya kini tiba-tiba terbayang dan terjadi jelas di mata gue.

Sesuatu yang tak pernah gue inginkan dalam hidup terjadi. Salahkah bila gue sendiri tidak menginginkan ini dan tidak merelakan semua ini. Gue ingin semuanya kembali seperti semula.

Bandung, pukul 09.53 pagi.

Di mana di waktu itu gue mendengar bahwa Ayah telah tiada, telah meninggalkan kita semua. Kita semua yang dicintainya dan yang mencintainya.

Yang gue rasakan setelah mendengar apa yang di sampaikan dokter itu kosong. Gue sejenak gak bisa mencerna dan mengartikan ucapan dokter itu. Seakan-akan perkataan dokter itu tidak ada artinya.

Namun melihat jeritan orang-orang yang setia menunggu Ayah berjuang untuk pulih membuat gue langsung tersadar akan arti dari kata sudah tidak ada.

Sudah tidak ada. Berarti sudah tak bisa lagi bersama, sudah tak bisa lagi berada di samping kita, sudah tak bisa lagi satu nafas, dan sudah harus berbeda alam.

Seketika gue menangis menjerit. Gue gak tau apa yang harus gue lakukan lagi selain menjerit dan menangisi kepergiannya.

Ayah. Hanya nama Ayah yang keluar dari mulut gue. Gak ada lagi kata-kata lain.

Gue bertanya-tanya kepada Tuhan, mengapa menjemput Ayah secepat itu. Mengapa mengambil Ayah dari kita sekilat itu. Mengapa merebut Ayah dari kita semua yang mencintainya sekejam itu.

Ayah orang yang baik dan orang yang sangat gue cintai, sayangi dan kasihi dalam hidup selain Ibu. Gue belum bisa membahagiakan dia selama hidupnya. Gue hanya bisa membuatnya marah marah dan marah. Gue belum memperlihatkan baju wisuda dan toga yang akan gue pakai nanti ketika lulus, gue belum memberikan gaji pertama gue nanti ketika kerja, gue belum mengenalkan seorang kekasih nanti ketika gue punya pasangan dan gue belum meminta restu untuk menikah nanti ketika gue akan menikah.

Setiap orang akan meninggal. Gue tau akan kalimat itu, tapi bisakah Tuhan tidak mengabulkannya sekarang. Bisakah nanti ketika gue dan Kakak gue sudah punya anak supaya Ayah melihat kalau dia juga punya cucu tambahan. Ketika nanti anak Mas Yugie punya anak, atau ketika nanti Ayah dan Ibu sudah menua bersama.

"Jangan nangis lagi, nanti Ayah berat ninggalin kitanya. Dia pergi untuk berbahagia di sana" Mas Yugie memeluk gue yabg masih saja menangis meskipun sudah lewat beberapa jam dari waktu Ayah dinyatakan meninggal.

Gue geleng-geleng kepala di pelukan Mas Yugie. Gue gak bisa setabah dia dan Kak Ugie. Gue gak bisa menahan air mata, semakin gue tahan semakin sakit hati ini.

"Gak bisa Mas" kata gue sambil menggigit lengan baju.

"Ya udah, sekali ini aja ya nangis nya. Kasian Ibu juga gak ada yang nguatin" ucap Mas Yugie mengusap rambut gue.

Justru itu, gue gak sanggup liat Ibu. Separuh jiwanya, separuh hidupnya, dan separuh hatinya pergi meninggalkannya. Janji mereka untuk tetap saling menemani dikala senang sedih berakhir samapi di sini.

"Udah, ya jangan nangis. Mas mau terima tamu dulu, itu ada temen-temen Ayah" kata Mas Yugie melepaskan pelukannya ke gue sambil mengusap air mata yang membanjiri pipi gue.

"Udah oke, ikhlasin. Liat itu mata kamu hilang, gak keliatan loh" lanjutnya mengatakan secara sulitnya kalau mata gue ini sembab.

Iya, mata gue dalam jangka waktu beberapa jam langsung bengkak atau sembab dan memerah. Begitu juga hidung gue yang ikut memerah sambil berair.

Kali ini gue menuruti apa yang dikatakan Mas Yugie untuk berhenti nangis, tapi kalau untuk iklas gue gak bisa. Gue belum bisa. Rasanya di dada ini ada sesuatu yang mengganjal.

The Pursuit of Love (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang